2. Pasien Tidak Waras?

8.5K 571 33
                                    

Rain, kalo lo suruh milih, lo pilih nikah sama cowok ganteng tapi tukang kebun, atau cowok jelek tapi tajir melintir?"

Raine baru memasukkan peralatan belajar ke dalam tas dan dosen pengampu mata kuliah hari ini baru keluar dari kelas, tapi Niken, sahabat Raine, sudah menyakan pertanyaan yang tidak masuk akal. Tidak berbobot sama sekali.

"Gue?" Raine menunjuk diri sendiri, Niken mengagguk. "Apa ya, em ... gue pengennya nikah sama cowok ganteng, tapi dokter tajir. Gimana dong?"

"Yee," Niken mendorong tubuh Raine. "Itu mah mau-mau-an lo doang."
Raine cengengesan.

"Eh, iya, ngomong-ngomong gimana hubungan lo sama Pak dokter itu?"

Raine mendengus pelan. Dua minggu lebih tak ada perkembangan. Gatra tetaplah Gatra yang cuek dan tidak peduli dengan segala usaha yang Raine lakukan. Tapi jangan panggil namanya Raine Geova Prawijya, jika menyerah begitu saja. Raine menggeleng. Lalu mencangklong tas dan berdiri. "Kafetaria yok! Makan. Gavin juga udah nunggu di sana."

Niken mengikuti dari belakang. Selama perjalanan, Raine menyempatkan berbagi senyum pada beberapa teman dan petugas kebersihan yang dikenalnya. Raine dikenal gila dan blak-blakan, bukan hanya pada Gatra. Pada siapa saja pun sama. Bahkan, dulu Raine pernah membacakan surat cinta ke seniornya tanpa tau malu saat OSPEK.Namun tak apa, Raine tetap bangga menjadi dirinya tak punya malu. Baginya, asal tidak mencuri, ia tidak akan pernah ragu melakukan apa yang dia mau.

Setibanya di kafetaria kampus, cowok tampan berbadan tegap, melambaikan tanggannya. Dia Gavin, anak fakultas tekhnik, mantan pacar Raine. Kata siapa mantan harus jadi musuh, buktinya dia dan Gavin bisa berteman akrab. Menghampiri Gavin, Raine duduk, sementara Niken memesan makanan sekalian ke kamar mandi.

"Eh, sendirian aja. Mana pacar lo yang segarang Kak Ros itu?" tanya Raine.

"Ada. Kenapa?"

"Nggak pa-pa sih. Gue cuma takutnya ntar dikira masih berharap sama cinta lama. Tau sendiri kan pacar lo itu posesifnya gimana?"

Gavin terkekeh. Laki-laki itu bertopang dagu sambil menatap Raine. "Kenapa lo senyum-senyum sambil ngeliatin gue kayak gitu? " tanya Raine.

"Cie ... yang sebentar lagi betambah umur."

Raine tersenyum simpul. Ia juga bertopang dagu, balik menatap Gavin.

"Cie ... yang masih inget aja."

"Apa sih, Rain, yang nggak gue inget dari lo."

"Ck,ck,ck, lo emang mantan terbaik gue, Gav!" Raine menggeleng-gelengkan kepala.

"Lo juga, Rain. Lo mantan terbaiiiiik gue," balas Gavin dramatis.

"Sebenenya kalo terbaik nggak mungkin jadi mantan sih," ujar Raine.

"Hehe, iya ya, kok kita bisa jadi mantan?"

"Lo kan dulu selingkuh sama temen gue, Beib. Nggak usah sok amnesia deh. Atau perlu gue benturin di tembok buat pulihin ingetan lo kayak di film-film itu?"

Gavin tertawa. "Jadi malu. Alus banget ya, Rain. Lo ngingetinnya!"

Raine ikut tertawa, mengingat masa lalu yang buruk, tapi sudah saling memaafkan. Lalu, seketika nostalgia itu terhenti kala seorang gadis-yang tak lain pacar Gavin-datang. Dia menarik kursi samping Gavin, langsung bergelayut di lengan dengan posesif. Seolah menegaskan jika Gavin hanya miliknya seorang.

"Yank, aku cari kemana-mana, taunya disini."

"Kan aku udah WA."

"Iya, tapi kenapa musti makan sama dia sih?" Della melirik Raine kesal.

Hey Pak Dokter, Ayo Menikah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang