Gavin terdiam memperhatikan Raine yang tertidur dengan sisa air mata yang mengering di pipinya. Dengkuran halus terdengar. Kenapa cewek selalu terlihat lebih cantik ketika sudah jadi mantan? Mungkin begitulah hukum alam bekerja. Ia tersenyum simpul, lalu mengelus lembut pipi Raine.
"Biarin dulu barang-barangnya berserakan gini, mending lo pulang sono," ucap Niken yang berbaring di kasur lantai, samping Raine.
"Tapi Rain?" Gavin melirik Raine. Gadis itu baru menutup tangisnya dengan tertidur.
"Udah, gapapa, dulu dia juga gitu abis lo putusin, buktinya sekarang bisa move on, yakan?"
Gavin sedikit terkejut. Apa benar dulu Raine sekacau ini saat ia memutuskan hubungan. Ia jadi merasa tidak ada bedanya dengan Gatra. Lelaki itu kembali memandang Raine cukup lama, lalu perlahan membungkuk, tetapi gerakannya berhenti ketika Niken menahan jidatnya.
"Mau apa?"
"Cium dikit, hehe." Gavin meringis.
Niken mengibaskan tangannya. "Ga Ada - ga ada. Dah sono pulang. Rain biar gue yang jagain."
Gavin melirik sinis. "Lo mau nemenin tidur sini? Di kasur lantai?"
"Iya. Tenang aja, kita cewek strong kok." Niken mendorong pelan tubuhnya. "Dah sono balik, gausah ada acara modus-modusan mentang-mentang Rain lagi galau gini!"
"Iya-iya. Galak amat. Cium juga baru tau rasa!"
"Dih, dasar buaya kali!"
****
Sudah seminggu unit aparterment sebelah kosong, walau sekarang agaknya sudah ada kembali yang akan mengisi. Mungkin selama enam hari ia bisa menahan dengan dalil jika dirinya jauh lebih baik ketika Raine tidak ada, karena kembali menemukan ketenangannya. Namun, hari ini sepertinya ia sudah tidak bisa membohongi diri, jika sepi yang ia cintai ini berubah jadi ironi. Apakah ia sudah mulai kehilangan akal sehat? Dirinya sungguh tidak paham.
Untuk apa ia repot-repot memikirkan orang yang telah meninggalkannya. Setidaknya lebih baik daripada ia harus bertindak jadi orang jahat dengan mengusirnya. Argghhh, tapi kenapa sulit diusir dari otak. Kenapa ia jadi merasa bersalah untuk sesuatu yang bukan kesalahannya.
Raine sendiri yang memilih pergi. Bukan ia yang meminta. Gatra berusaha men-sugesti diri, tetapi lagi-lagi tidak tenang, apalagi mengingat kata-kata Adi beberapa waktu lalu.
"Orang buat kesalahan sekali itu kewajaran. Tapi kalo udah dua kali itu namanya kegoblokan. Menandakan kalo elo emang orang yang buta perasaan."
"Dulu lo udah menyiakan waktu yang begitu puanjanggg buat menyatakan perasaan ke Laras. Sekarang elo terlambat untuk menyadari perasaan ke Rain."
"Tapi dia sendiri yang mutusin gue, Di!"
"Karena elo yang terlalu mengedepankan gengsi dibanding apapun. Intinya tetap sama, lo gak pandai me-manage waktu. Gue nggak nyangka temen gue yang pinter masalah teori dan praktek lapangan, biar begitu goblok dalam memahami perasaan perempuan, pantes jomblo terooos."
Ingin sekali Gatra memiting sahabatnya itu. Terkadang benar, seorang jomblo bisa sangat pandai menasihati dalam percintaan. Adi contoh nyatanya. Gatra tidak tahu bagaimana tipe Adi, yang jelas Adi tidak menjalin hubungan dengan siapapun, sejak terakhir dua tahun yang lalu. Manusia yang sering sekali mengatainya jomblo padahal sendirinya juga jomblo.
Ia sebenarnya malas curhat dengan Adi, karena unjung-unjungnya pasti dibully. Namun, anehnya ia selalu meminta pendapat pada lelaki yang paling mengerti dirinya itu.
"Kejar sesuatu yang menurut lo berarti, jangan berteman baik dengan gengsi, atau lo akan menyesal nanti."
****
![](https://img.wattpad.com/cover/162912311-288-k978980.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey Pak Dokter, Ayo Menikah!
RomanceA romace comedy Sebelumnya Raine tidak pernah begitu semangat dalam menjalani hidup. Kira-kira seminggu yang lalu ketika apartemen sebelah yang semula ditinggali sepasang suami-istri, kini berganti penghuni jadi seorang dokter yang membuat bola mata...