Mobil Gatra berhenti di pelataran rumah bertingkat elit daerah Jakarta Pusat. Sejenak ia terdiam, dari sela pagar pembatas, terlihat sepasang manusia tengah asyik memangut bibir di teras rumah. Gatra mengela napas pelan. Baru sampai saja sudah disuguhi pamadangan seperti ini. Tidak bisakah mereka melakukannya di dalam rumah saja? Hati Gatra teriris-iris melihatnya.Gatra mengalihkan pandangan sambil melepas kaca mata hitam, manaruhnya di dasbor, lantas turun dan masuk ke dalam rumah.
Rumah yang sudah hampir sebulan ini tidak ia kunjungi. Gatra duduk di sofa ruang tamu. Jika bukan karena ibunya menelfon berkali-kali dan mengatakan ada hal yang sangat penting ingin dibicarakan, Gatra lebih memilih mengabiskan akhir pekan yang terbatas dengan bergelung di dalam selimut sepanjang hari. Hari libur yang sangat berarti, mengingat bagaimana pekerjaan begitu menyita waktu dan tenagaya setiap hari. Dan sekarang Gatra terpaksa merelakannya disini. Huh!
Namun, tidak lama kemudian, seorang wanita berusia setengah abad lebih dengan gaya berpakaiannya yang tetap fashionable datang dan duduk di hadapannnya. "Akhirnya anak Mama satu-satunya mau mengunjungi ibunya,”
Rossy—Ibu Gatra—menggelengkan kepala. "Ternyata kamu udah banyak berubah, ya!""Berubah?"
"Apa kamu nggak kangen sama Mama yang udah nggak pernah kamu kunjungi ini?"
Gatra mendengus pelan. Ia tidak menyukai pembicaraan dramatis yang cenderung hiperbola. "Kita baru nggak ketemu sebulan, Ma, sejak Gatra pindah ke apartermen. Apa itu masalah besar?"
"Ternyata anak yang susah payah Mama urus dari kecil udah nggak peduli lagi sama ibunya. Kamu semakin berubah, Ga, apalagi sejak Laras meni—
"Stop, Ma. Nggak usah bahas itu lagi. Katanya Mama mau bahas hal yang sangat penting? Jadi, bisa kita mulai sekarang?"
Rossy menghela napas. Tanpa membuang waktu lama ia membuka ponsel, lalu menunjukkan sebuah foto pada Gatra. "Gimana menurut kamu?"
Gatra menerima dan mengamati foto wanita yang terpampang di layar ponsel. Semua mata yang melihatnya pasti akan berasumsi jika wanita dalam foto itu sangat cantik. Apalagi tubuh sintalnya yang dibalut dress selutut tanpa lengan bewarna biru gelap tampak seksi. Sebagai lelaki normal Gatra mengakuinya. Namun, tetap saja, selama bukan Laras, wanita itu tak mampu menarik perhatiannya. Gatra bedehem, "Ini maksudnya apa?"
"Cantik nggak?"
Gatra mengangguk.
"Namanya Cantika, anaknya tante Feby, temen Mama. Cantika itu hebat loh, udah jadi CEO di perusahaan keluarganya!"
"Lalu?" Gatra menaruh ponsel ke maja dengan santai.
"Mama mau kamu menikah sama dia," ujar Rossy santai.
Gatra membelalak sambil berdiri. "Apa? Menikah?! Hal nggak masuk akal apalagi yang Mama rencanakan?!"
"Ini masuk akal, Nak. Bahkan sangat baik menurut Mama. Dan Mama nggak mungkin asal memilihkan calon istri buat kamu."
Menggeleng tidak percaya, Gatra melangkah pergi, tapi Rossy buru-buru mencegah. "Mama mohon, Gatra. Dengarkan dulu, jangan pergi!"
"Kalau untuk membahas masalah gak penting seperti ini, maaf, Gatra gak punya waktu!"
"Nggak penting apanya? Ini justru sangat penting untuk masa depan kamu! Lagipula, umur kamu udah 30 tahun lebih. Pintar, tampan, dan menyandang gelar dokter spesialis. Apalagi yang kurang?"
Gatra tersenyum miris. “Kasih sayang.”
“Makanya Mama ingin kamu menikah, supaya ada yang memberi kamu perhatian dan kasih sayang setiap hari.”
![](https://img.wattpad.com/cover/162912311-288-k978980.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey Pak Dokter, Ayo Menikah!
RomansaA romace comedy Sebelumnya Raine tidak pernah begitu semangat dalam menjalani hidup. Kira-kira seminggu yang lalu ketika apartemen sebelah yang semula ditinggali sepasang suami-istri, kini berganti penghuni jadi seorang dokter yang membuat bola mata...