21. Sebuah Akhir

8.8K 892 140
                                    

"Rain, kamu mau ke mana?"

Raine menoleh ke arahnya. Gatra mengedarkan mata, menatapi orang-orang itu. Ada Gavin juga di sana yang sedang membantu. 

Tidak mengerti, ia menarik tangan Raine sedikit menjauh dari kerumunan. Gadis itu hanya diam. Gatra membalik badan menatapnya, tetapi Raine hanya menunduk.

"Ini ada apa?" ulangnya.

Raine menggigit bibir, perlahan ia mendongak, balik menatap pemilik netra tajam itu. Ada yang desiran halus, seperti saat pertama mereka bertemu. Ia masih ingat waktu itu, ketika ia belum mandi dan berusaha menyapa tetangga barunya, tetapi Gatra hanya acuh. Sejak saat itu ia tetantang untuk menaklukan lelaki yang berprofesi sebagai dokter tersebut. Namun, sekarang ... ia menarik napas, berusaha menetralisir keadaan. Ia harus kuat, tidak boleh goyah sedikitpun. Keputusan final sudah diambil.

"Pak, Rain mau ngomong sesuatu."

Deg.

Gatra terkesiap. Ia hanya tertegun, tetapi tak lama mengangguk, kembali menarik tangan Raine menunju mobil. Sepanjang jalan hening, tidak seperti biasa yang diisi celoteh tidak penting Raine. Ia menoleh mendengar tarikan napas Raine yang panjang-panjang. Namun, gadis itu tidak membalas, hanya mengalihkan pandangan ke luar jendela.

"Berhenti di sini aja, Pak," pintanya. Gatra menurut, ia, menepikan mobil di pinggir yang sekiranya tidak akan mengganggu lalu lalang kendaraan lain.

Ia tetap diam menunggu gadis itu membuka suara. Perasaanya terasa aneh. Tidak kunjung terdengar suara, Gatra lama-lama tidak sabar.

"Ini ada apa sih, Rain. Gak usah membuang-buang waktu!"

Gatra sedikit tersentak melihat bola mata Raine yang memerah. Barangkali satu kedip saja, cairan bening itu akan meluncur.

"Itu mata kamu kenapa?"

"Kelilipan, Pak. Waktu tadi liat keluar jendela," jawab Raine seraya buru-buru mengelap dengan punggung tangannya.

"Oh."

Raine tersenyum tipis. Gatra tetaplah akan menjadi Gatra. Namun, Raine tidak akan memaksanya menjadi siapapun. Karena ia tahu dibalik kelebihan pasti ada kekurangan. Terlalu egois jika ia hanya menerima kelebihan yang ada pada diri Gatra.

"Pak, itu bulannya bagus, ya!" tunjuknya ke bulan yang terlihat bersinar dari sela awan.

"Ga usah bercanda. Kamu ngajak saya ke sini cuma buat liat awan?" Gatra memandangnya datar.

Raine tertawa sumbang. "Nggak kok, ada sesuatu yang mau Rain sampaikan."

"Apa? Kamu nggak usah main teka-teki. Apa maksudnya orang-orang tadi bawa barang-barang kamu keluar dari aparterment?" tanya Gatra, tidak sabaran.

"Mereka cuma melakukan tugas."

"Maksud kamu?"

"Apa Pak Gatra bakal kehilangan kalau Rain ga ada?"

"Saya gak bilang gitu."

"Kan Rain tanya."

Gatra memalingkan muka, tidak menjawab.

"Pak,"

"Rain mau kita putus!"

Deg.

Cepat Gatra menoleh, menyerengit. Ia langsung beradu pandang dengan Raine yang pipinya sudah basah. Laju air mata sudah tidak bisa dikontrol. Rasanya sesak, tetapi pilihan ini yang terbaik. Untuk apa bertahan pada hati yang tidak bisa tergapai. Sampai kapanpun Gatra akan tetap terkurung dalam masa lalunya. Sekuat apapun ia berusaha, hasilnya akan tetap sama.

Ia masih punya mimpi. Orangtua membesarkannya bukan untuk jadi pengemis rasa. Raine sudah memikirkannya. Benar kata Gavin, jangan sampai rasa cintanya yang berlebih untuk Gatra, membuatnya jadi anak yang mengecewakan orangtua. Selama ini mereka telah memberikan yang terbaik untuknya. Jika bukan karena orangtuanya yang mengizinkan tinggal di aparterment, tidak mungkin ia kenal dengan Gatra.

Barangkali ini sudah waktunya. Walau pada akhirnya akan begini, Raine tetap bersyukur pernah menjadi sedikit bagian dari lelaki hebat seperti Gatra.

"Maksud kamu?" Gatra masih tercengang, berusaha menatap matanya, tetapi Raine terus menunduk. Gatra tidak mengerti mengapa jantungnya terasa bergemuruh, mendengar kata putus dari gadis itu. Ada sesuatu yang sulit untuk ia jabarkan.

"Rain gak tau apa hubungan kita bisa disebut hubungan, tapi Rain pingin mengakhirinya."

"Tapi kenapa tiba-tiba? Bukannya kamu ...

"Cinta sama Pak Gatra?" Raine tetawa sumbang. "Nggak perlu dipertegas Rain udah sering mengakuinya, kan? Tapi, Pak, bener kata Gavin, ada prioritas yang lebih harus diprioritaskan."

"Jadi Gavin yang nyuruh kamu putusin saya?"

Raine menggeleng. "Memang kayaknya ini jalan terbaik."

"Jalan terbaik?"

"Yap. Semua orang punya titik lelah. Bahkan pejuang pun akan berhenti jika yang diperjuangkan itu gak pasti."

"Nggak usah berbelit. Bilang aja kamu mau balik sama mantan kamu itu, kan! Semua perempuan yang mendekati saya itu sama. Cuma pengen manfaatin saya." Gatra maju, mengurung tubuhnya. Tatapannya menghunus tajam. Rain kesulitan bergerak, apalagi ditambah sabuk pengaman yang masih terpasang.

"Pak Gatra nggak usah nuduh, ya!" jarit gadis itu, ia mendorong Gatra sekuat tenaga. "Rain sama Gavin memang dekat, tapi gak ada sedikitpun niat Rain buat balikan sama dia!"

"Dan lagi, memangnya selama ini Rain pernah minta sesuatu yang membuat Pak Gatra merasa termanfaatkan?" Air matanya kembali luruh. "Bukannya kebalik, ya. Selama ini Pak Gatra yang manfaatin Rain untuk membatalkan perjodohan Pak Gatra sama Tatik, iya kan?!"

Gatra tertegun.

"Rain selama ini diam bukan berarti gak tau. Mungkin saya yang bodoh, tetap mau menjalani asal bisa dekat dengan Pak Dokter. Rain yang bodoh, huhuhu ..." Raine menutup mata dengan kedua telapak tangannya.

"Sekarang Pak Gatra bebas. Ga ada gangguan. Silakan nikmati kesendirian yang Pak Gatra sebut ketenangan itu,"

"Saya gak akan paksa orang buat bersama, meskipun ingin. Kalau dia memang merasa ga cocok, saya bebaskan menjauh. Saya akan ingat-ingat kalimat itu. Pelajaran yang berharga dari Pak Gatra."

Gatra masih terdiam.

"Oh, iya, satu lagi saran saya, Pak. Kunjungilah ibu Pak Gatra, sekesal apapun bapak dengan beliau. Gak ada ibu yang jahat kok, yang ada cuma ibu yang pengen terbaik untuk anaknya. Meskipun kadang caranya salah."

Rain membuka pintu, lalu berlari keluar.

****

Gatra mengacak rambutnya kasar, lalu menghempaskan tubuh ke sofa. Ada dengan dirinya? Mengapa perasaanya begitu kacau. Bukankah seharusnya ia senang, karena selain terbebas dengan Cantika, ia juga terbebas dengan Raine. Seperti rencananya dulu. Namun, mengapa semuanya begini.

Ia mengangkat note terakhir yang ditempelkan Raine di pintunya. 'Enggak usah lari lagi, Pak Gatra. Rain udah cukup sadar diri, kok.' Ia membuang note dengan perasaan kesal.

Kekesalan ditambah saat mobilnya diam-diam mengikuti Raine sampai kontrakan barunya. Dan melihat Gavin di sana. Bahkan melihat dua orang itu berpelukan.

Gatra kembali mengacak rambutnya. Ini tidak benar. Ia merasa dipermainkan oleh dua anak muda itu.

*****

Ck, lelaki egois.
Keknya authornya nulisnya berapi-api banget, wkwk. Iyalah!
Gimana masih mau tau kelajutannya. Apa stop sampai di sini, biar si Gatra yang gengsian pol itu menderita. *tertawa jahat!*





Hey Pak Dokter, Ayo Menikah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang