1. Hati

962 108 89
                                    

"Hati manusia hanya dia dan Tuhan yang mengerti."

*****

Parah. Kenapa jadi lebih seram dari uji nyali?

Padahal Aksel hanya akan berjalan berlawanan arah dengan gadis yang berjalan sambil menunduk itu. Jaraknya pun masih cukup jauh dan bisa saja gadis itu membelok atau berrbalik arah karena takut padanya. Namun, hatinya selalu membuatnya lemah dan sekarang memengaruhi otaknya untuk kembali mengingat kejadian di kantin tadi, membuat rasa bersalah kembali menyerbunya.

Aksel menyakiti lagi.

“Bodo amat, dia bukan siapa-siapa gue,” elaknya pelan. Aksel mengangkat dagunya memandang lurus ke depan, mengenyahkan perasaan aneh yang asing sekaligus familier itu. Meyakinkan hatinya bahwa apa yang dilakukannya untuk menyingkirkan segala sesuatu tentang gadis itu dan perasaan aneh itu dari hatinya adalah hal benar.

Saat mereka berpapasan, hatinya kembali mengkhianati Aksel membuat nama gadis itu terucap secara spontan dari bibirnya. “Alisa.”

Refleks Alisa berhenti dua langkah di belakang Aksel. Kini mereka berdiri saling memunggungi dengan perasaan yang berbeda. Alisa dengan rasa takutnya dan Aksel dengan perasaan aneh, bodoh dan bersalah yang menyelimutinya.

“Maaf,” gumam Aksel pelan, tetapi Alisa masih dapat mendengarnya karena jarak mereka yang cukup dekat dan juga karena suasana koridor yang sepi saat jam pelajaran berlangsung. Kemudian Aksel melangkah cepat menuju tangga yang membawanya menuju kelasnya di lantai dua.

Alisa bergeming, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Selalu begini. Setelah mem-bully-nya, Aksel akan meminta maaf seolah benar-benar menyesal lalu pergi tanpa menatapnya, setelahnya Aksel akan kembali mem-bully-nya seolah mengisyaratkan bahwa rasa bersalahnya adalah kesalahan.

Apa Aksel selalu memperlakukan setiap korbannya seperti ini? Atau hanya dirinya yang diperlakukan seperti ini?

Alisa menghela napasnya mencoba menyingkirkan pertanyaan tak bermanfaat itu karena jawabannya iya atau pun tidak, Aksel akan terus mem-bully-nya sampai lulus nanti—mungkin.

*****

Suara ketukan pintu membuat Pak Agus menghentikan penjelasannya dan memandang heran ke arah pintu kelas, begitu juga penghuni kelas XI IPA 1 yang lain. “Alisa? Tumben telat. Kenapa?” tanya Pak Agus heran melihat gadis tunawicara itu berdiri di ambang pintu dengan gelisah.

Alisa menggerak-gerakkan tangannya mencoba menjelaskan alasannya telat masuk kelas meski ia tahu Pak Agus ataupun teman-teman sekelasnya tidak ada yang mengerti. Sayangnya ia lupa membawa buku komunikasinya.

“Elah, lu ngomong apaan dah? Nggak ngerti gue. Mending diem deh daripada bikin gue capek ngeliatnya,” cibir Nanda, yang duduk di pojok kiri paling belakang, yang langsung dapat teguran dari Pak Agus.

Suara lain menyahut. “Gue ngerti maksudnya, Nan.” Dia Adi, teman sebangku Alisa yang selama ini selalu mengeluhkan hidupnya yang berada di batas antara surga dan neraka selama duduk dengan Alisa. “Katanya dia abis mulung di kantin terus bajunya kotor, jadi ganti baju dulu deh,” lanjutnya dengan senyum mengejek yang membuat Alisa menundukkan kepalanya.

Pak Agus langsung mengurnya. “Adi! Kamu itu pelajar, jaga bicara kamu!” bentak Pak Agus yang hanya dianggap angin lalu oleh mereka karena setelah tidak ada Pak Agus, mulut comel mereka akan kembali nyinyir. “Alisa, kamu silakan duduk ke tempatmu!” Alisa langsung mengangguk pelan mengucapkan terima kasih lewat senyuman yang diangguki oleh Pak Agus.

MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang