"Lo tau itu, kan, Adinda Risa Pratiwi?"
Risa semakin membeku ketika orang itu, Dika, menyebutkan nama lengkapnya. Nada dinginnya terdengar jelas sekali, bahkan Alisa pun dibuat merinding. Ada apa dengan Risa dan Dika sebenarnya?
"Di-dia ta-tadi nggak ikut bantuin persiapan buat festival. Gu-gue cu-ma ngasih dia jatah kerja," jawab Risa gugup. Manik hitamnya bergerak liar menghindari tatapan dingin lelaki itu.
"Bisa dengan cara yang sopan, kan?" tanya Dika masih dengan nada dingin, malah sekarang makin menajam.
Pertanyaan retoris itu membuat Risa mendecih dalam hati. Manusia naif seperti Alisa tidak perlu diberi sikap sopan. Memang bersikap kejam adalah hal bagus untuk membuat gadis itu sadar bahwa bertumpu pada kekurangan dan ketidakberdayaan bukanlah sesuatu yang benar. "Dia nggak pantes disopanin," balasnya dengan nada dingin.
Dika menatapnya murka, sementara Alisa menunduk dalam. "Maksud lo apa?!" teriak lelaki itu membuat orang-orang yang berlalu lalang di koridor memperhatikan mereka heran. Apalagi melihat seorang Prabu Mahardika yang terkenal kalem berteriak murka pada Risa yang selama ini tak pernah terlihat berinteraksi dengan lelaki itu. Alisa pun dibuat terkejut, mata gadis itu melirik Dika tak percaya.
Risa juga tersentak mendengar teriakan Dika yang sudah lama tidak ia dengar. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Sekian detik setelahnya gadis itu malah menatap Dika remeh. "Karena manusia bego kayak dia emang nggak pantes disopanin. Lo juga pasti tau orang bego, terlalu baik, dan terlalu pasrah sama hidupnya itu beda tipis, malahan nggak ada bedanya," tuturnya santai, seolah beberapa baris kalimat setajam silet yang dilontarkannya tidak akan menyakiti perasaan orang lain.
"Dia," gadis itu menunjuk Alisa yang masih menunduk, "nggak akan pernah bisa bebas kalo terus bersikap sok jadi korban padahal bisa ngelawan."
Alisa tertegun mendengar sebaris kalimat bijak--yang sadis--itu dari bibir tipis Risa yang biasanya selalu membuatnya sakit hati. Ia mendongak, memastikan apakah benar Risa yang mengucapkannya. Ya, itu memang benar-benar Risa. Baru pertama kali Alisa berani menatap manik hitam Risa yang sebenarnya indah, tetapi selalu tertutupi kabut kebencian pada hal yang entah apa. Hal yang mengejutkan lainnya adalah mata itu sempat menatapnya lembut untuk beberapa saat sebelum akhirnya kembali menatapnya datar dan memalingkan wajah pada Dika.
"Lo emang mau kejadian masa lalu keulang lagi ternyata," ejek Risa membuat Dika tertegun. Tentu saja masa lalu akan tetap menjadi masa lalu. Mengulangnya adalah kebodohan karena akhirnya belum tentu sama, bisa jadi lebih buruk dari sebelumnya.
Kaki jenjang Risa melangkah meninggalkan Dika yang membisu dan Alisa yang masih menunduk. Sebelumnya gadis itu sempat membisikkan sebaris kalimat yang membuat Dika mengepalkan tangannya erat. "Kalo lo mau dia jadi the next Alicia, gue siap berperan jadi Dira."
Setelah Risa pergi, Alisa memberanikan diri mengangkat kepala dan memandang Dika yang masih diam memperhatikan punggung Risa yang semakin menjauh. Tiba-tiba lelaki itu mengalihkan pandangan ke arahnya, lalu berkata dengan nada serius, "Gue harap lo lebih berhati-hati sama Risa, dia lebih berbahaya dari Aksel." Jeda sejenak. "Dan soal Aksel...," pandangannya kembali menghindari mata hitam milik Alisa, "... semoga lo bisa ngerti." Setelah itu Dika memungut sampah-sampah yang tadi berhamburan karena ulah Risa, kemudian memasukkannya ke tempat sampah tadi. Sementara Alisa tetap terdiam memandanginya tanpa berniat membantu karena otaknya masih mencoba memroses maksud kalimat Dika tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monokrom
Teen FictionAksel punya hobi yang aneh dan kejam: menindas orang yang lebih lemah darinya, apalagi orang yang terlahir dengan kekurangan fisik. King bullying itu menjadikan Alisa korbannya. Gadis tunawicara yang entah bagaimana dan entah sejak kapan mengambil a...