"Gue nggak tau kenapa. Tapi, gue rasa ini salah," gumam seorang lelaki berpakaian serba hitam. Kelereng hitamnya menatap buku serupa Death Note di tangannya. Ya, mungkin ini akan menjadi Death Note yang membunuh sang pemilik sendiri.
"Tapi...," senyum iblis tersungging di bibirnya, "nggak ada salahnya nyingkirin apa yang kita benci, kan?" Kemudian lelaki itu mengambil pena dan membuka asal halaman di buku itu. Tangannya menulis sebuah nama dengan tulisan tidak jelas.
Ia tersenyum puas setelah selesai dengan sketsa untuk karya pertamanya. Akan ada yang lain lagi nanti. Tunggu saja.
*****
"Wah! Ini anak minta digaplok palanya emang," ujar Surya sebal. Pasalnya sepupu temannya itu, Dika, malah sibuk dengan ponselnya, padahal mereka sedang membahas tentang Aksel dan Alisa sesuai permintaan lelaki itu yang tiba-tiba ingin bertemu untuk membahas sesuatu. "Heh!" Surya berteriak diiringi gebrakan meja di Apple cafe di dekat sekolah mereka. Untung saja cafe sedang sepi pengunjung, saat ini pun hanya ada mereka bertiga--Surya, Rendy, dan Dika--beserta para pelayan cafe.
"Jangan bikin gue emosi lebih dari ini, Dik," desis Rendy yang sedari tadi diam ketika melihat Dika yang tak terusik dengan apa yang dilakukan Surya tadi.
Akhirnya Dika mengalah. Ia menghela napas lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku celana jeans-nya. Ia tadi menyempatkan diri untuk mengganti seragam sekolahnya dengan kaos berlengan pendek hitam polos dan jeans birunya terlebih dulu. Tidak dengan Rendy dan Surya yang sepertinya sangat bangga mengenakan seragam putih abu-abunya meski acak-acakan.
Lelaki itu membasahi bibirnya, mendadak gugup. Bukan keinginannya membahas masalah sepupunya dan gadis yang menjadi salah satu korban sepupu laknatnya itu sebenarnya, tetapi keadaan yang memaksanya. Jujur, ia lebih ingin menjauhkan Alisa sejauh-jauhnya dari jangkauan Aksel. Namun, ada hal yang ingin diungkapnya dan membuat Aksel tahu apa yang sebenarnya terjadi tanpa bisa menyalahkan apa yang seharusnya ia percaya. Untuk itu ia butuh Alisa. Hatinya berkata hanya Alisa yang bisa meruntuhkan tembok es yang Aksel bangun.
Dika berdeham sejenak sebelum memulai pembicaraan. "Gue cuma mau ngomong, gimana pun caranya, jangan biarin Aksel nyakitin Alisa lebih jauh lagi. Ingetin dia tentang hukum di akhirat kek, tentang perasaannya kek atau apalah terserah. Pokoknya jangan sampai Alisa lebih enek lagi sama Aksel."
Surya dan Rendy saling berpandangan. Apa-apaan ini? Bukan ini yang ingin mereka bahas. "Lo nggak minta kami jadi mak comblang?" tanya Rendy.
Alis Dika terangkat sebelah. "Mak comblang? Buat apaan?"
Surya dan Rendy ternganga. "Lo nggak sadar kalo cuma Alisa yang bisa bikin si Aksel luluh?"
"Sadar. Kenapa?"
"Lo nggak berniat bikin mereka jadian apa?"
Dika menggeleng ringan. "Gue nggak yakin Aksel bisa berubah. Gue cuma nggak mau Alisa tersakiti lebih dari ini," tambahnya.
"Lo ... naksir Alisa?" tanya Rendy pelan.
Lalu dengan ringan tanpa beban Dika menggeleng membuat Surya dan Rendy memilih diam. Pada akhirnya, Dika hanya memerintah, bukan membahas.
*****
"Eh, kok gini sih?! Kan gue maunya lo nulis di kertas pink yang gue kasih tadi. Kenapa malah kertas biru?!" teriak Sasa marah. Aksel yang menjadi sasaran marahnya mengeraskan rahang, tetapi ia masih mencoba untuk tidak menyemburkan amarahnya. Lelaki itu mengembuskan napas kasar lalu menarik kertas berwarna pink dan menyalin tulisannya tadi. Padahal ia sudah menulis hampir penuh, apalagi ia termasuk orang yang malas sekali untuk menulis sekalipun tulisannya patut dipuji. Namun, ia hanya tidak mau melukai perempuan yang spesial untuk sahabatnya itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/188731713-288-k416625.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Monokrom
Teen FictionAksel punya hobi yang aneh dan kejam: menindas orang yang lebih lemah darinya, apalagi orang yang terlahir dengan kekurangan fisik. King bullying itu menjadikan Alisa korbannya. Gadis tunawicara yang entah bagaimana dan entah sejak kapan mengambil a...