15. Jeda (2)

384 38 9
                                    

Dika menghela napas menatap jam tangannya, kemudian manik hitamnya beralih pada jendela dengan kusen yang telah lapuk itu. Di luar semakin gelap, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Namun, Alisa belum juga pulang.

Pemuda itu saat ini tengah berada di rumah Alisa karena ia sudah mencari gadis itu ke mana-mana, tetapi ia tidak juga menemukan si objek. Ia berpikir mungkin saja Alisa telah sampai di rumahnya. Namun, sampai hampir satu jam dirinya menunggu, gadis itu tak juga menampakkan diri, hal itu membuatnya cemas.

Ditatapnya secangkir teh hangat--yang sekarang sudah tidak hangat lagi--yang disajikan oleh bunda Alisa. Wanita itu sekarang sedang mencuci pakaian para pelanggannya. Selain menjadi penjual kue keliling, bunda Alisa juga menyambi menjadi buruh cuci untuk menambah pendapatan. Dika menghela napas lagi, ibu Alisa pasti melakukan pekerjaan dengan perasaan cemas. Pasalnya gadis itu tidak pernah pulang sampai larut malam, salah satu alasannya karena tidak ada yang bisa diajaknya bermain sampai ia lupa waktu.

"Nak Dika tidak pulang saja? Sepertinya Lisa pulangnya masih lama," ujar bunda Alisa. Wanita itu berjalan dari dapur lalu duduk di depan Dika. Terlihat jelas raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Tangan yang mulai berkeriput itu meremas-remas daster lusuh yang dipakainya.

Dika menarik senyum tipis. "Nggak papa, Tante. Saya tunggu saja, kata temen saya bentar lagi mereka sampai," jawabnya sopan. Jelas Dika berbohong, ia saja tidak tahu di mana Alisa sekarang berada. Ia hanya ingin menenangkan bunda di depannya ini. Ada rasa bersalah yang menghantuinya karena telah membohongi wanita ini, tetapi apa lagi yang bisa ia lakukan? Dika hanya berharap semoga Alisa segera sampai di rumah.

*****

Kedua remaja itu berjalan beriringan dengan jarak yang membentang cukup jauh. Si pemuda terlihat santai sambil memasukkan tangannya ke saku celana, sementara si gadis masih saja dilanda rasa kikuk sembari menenteng plastik berisi satu porsi sate yang tadi tidak sempat dimakannya.

Sampai di samping motor ninja berwarna biru itu, si pemuda memberi peringatan, "Lo jangan geer karena gue mau anterin lo pulang plus traktir lo makan! Anggap aja ini jeda sebelum gue bertindak kayak biasanya. Jadi, jangan sampe ada yang tau, terutama temen lo, apalagi Dika. Gue males jawabin angket unfaedah dari wartawan abal-abal kayak mereka. Kalo mereka sampe tau, gue nggak jamin nggak bakal ngelakuin hal lebih dari biasanya. Lo ngerti, kan Alisa?"

Alisa meneguk ludahnya dengan susah payah. Dengan gemetar, ia menganggukkan kepala pelan. Diam-diam ia merutuki setan penunggu pohon mangga yang ia yakini tadi sempat menempeli Aksel. Pasalnya setan itu keluar dari tubuh Aksel di waktu yang tidak tepat. Ah, ia lupa. Bukankah tadi ia sendiri yang berdoa agar setan itu segera enyah dari tubuh Aksel?

"Mau tidur di pinggir jalan begini lo?" Alisa tersentak kamudian menoleh pada Aksel yang memegang helm berwarna merah. "Kalo iya, jangan sekarang! Gue cuma nepatin janji nganterin lo pulang dengan selamat sampe rumah," lanjut Aksel sembari memakaikan helm di kepala Alisa. Sebenarnya Aksel kenapa? Padahal tadi pemuda itu tidak berjanji mengantarnya pulang, hanya sekadar mengucapkan sebaris kalimat dan menurut Alisa itu bukan sebuah janji yang wajib ditepati.

Aksel sendiri langsung menaiki motornya dan mengenakan helmnya sendiri. "Buruan! Gue buru-buru."

Alisa segera menaiki motor dan tak lama mereka menembus dinginnya malam dalam keheningan tanpa kata.

*****

"Nak Dika, benar Lisa sebentar lagi pulang?"

Pertanyaan itu membuat Dika bingung harus menjawab apa. Mungkin, tidak seharusnya ia mempertahankan kebohongannya itu lebih lama lagi. "Tante. Sebenarnya ... Alisa nggak--"

MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang