"Hanya harapan yang bisa menghidupkan sesuatu yang telah mati meski hanya sebatas mimpi."
-A-*****
Jam menunjukkan pukul empat tiga puluh sore. Matahari pun sepertinya telah lelah menyinari hari yang panjang ini. Saatnya penutupan festival sekolah dilangsungkan. Setelah sambutan-sambutan singkat dari kepala sekolah dan ketua OSIS selaku ketua panitia, dilanjutkan dengan sesi berdoa untuk mengakhiri acara ini juga doa yang diperuntukan untuk mendiang Alicia Putri Pranaja, yang tak lain adalah kakak kandung dari Aksel Alfredo Pranaja, yang meninggal karena bunuh diri.
Selama ini banyak yang mengira bahwa Alice bunuh diri karena tertekan dengan pem-bully-an yang dialaminya, tetapi sebenarnya tidak ada yang tahu penyebab pasti kematiannya. Lalu tentang Aksel yang adalah adik kandung Alice pun hanya beberapa orang yang mengetahuinya. Marga Pranaja yang disandangnya sengaja tidak diberitahukan kepada halayak umum demi keselamatan Aksel juga Aksal sendiri. Begitu juga dengan Dika dan Dira yang juga menyandang marga tersebut. Banyak hal yang harus ditutupi dari publik oleh keluarga itu.
Setelah semua sesi selesai, saatnya para siswa menerbangkan harapannya lewat balon yang telah mereka dapatkan serta kertas kecil yang dimasukkan ke dalamnya. Entah mengapa pihak sekolah setiap tahunnya selalu membagikan balon berwarna biru muda untuk tahun ganjil dan biru tua untuk tahun genap. Karena sekarang ini adalah tahun ganjil, murid-murid mendapatkan balon berwarna biru muda.
"Lis, harapan apa yang lo tulis?" Sasa menatap Alisa yang sedang menggulung kecil kertasnya. Ia bingung harus menuliskan apa, harapannya untuk mempunyai teman yang memandangnya sebagai dirinya sendiri telah tercapai. Lalu ia akan menulis apa? Dikosongkan? Katanya jika kertas di balon itu dikosongkan, semua harapan orang itu yang sudah terwujud akan diambil kembali. Mitos huh?!
Alisa menengok lalu tersenyum tipis. Gadis itu menyerahkan kertas harapannya dengan senyum lembut penuh harap. Sasa tertegun begitu membacanya. "Semua orang bahagia." Mungkin maksud Alisa di saat orang-orang bahagia, ia juga layak untuk bahagia.
Sasa menipiskan bibirnya lalu beralih menatap kertas kosong di mejanya. Senyumnya merekah begitu suatu harapan baru muncul. "Gue juga mau semua orang bahagia," ucapnya ceria sembari menatap Alisa penuh tekad, lalu mulai menuliskannya di kertas kecil itu. Alisa yang melihatnya mengerutkan dahi heran. Sasa mengapa seperti begitu yakin bahwa harapannya akan terwujud? Padahal ini hanya sebuah tradisi tak berarti sebab harapan Alisa dari tahun lalu tidak pernah terwujud. Atau mungkin ... belum.
*****
Lima lelaki muda itu tengah duduk lesehan melingkari meja persegi di perpustakaan. Entah mendapat bisikan makhluk halus jenis apa hingga mereka bisa terdampar di pulau buku itu. Ditambah dengan suasana hening yang memang bukan mereka jika sudah berkumpul.
"Gue bingung dah, apa faedahnya kita nulis ginian terus diterbangin? Dikira Tuhan bakal terima gitu? Syirik ini mah, dosa," celetuk Vian memecah keheningan.
Surya melempar penanya hingga mengenai dahi pemuda itu. Vian mendelik tajam. "Sok suci lo, ketek babon! Yang doa pas liat bintang jatuh sama nggak sengaja liat angka 11:11 di handphone kemaren siapa dah?" sindirnya. Walau sebenarnya dia sendiri tidak setuju ada tradisi aneh seperti ini.
Vian menampilkan cengiran kuda. "Khilaf gue." Surya mencibir.
"Sumpah dah gue bingung banget mau nulis apaan. Masa iya gue harus nulis masa depan gue sama Kimi Hime," ujar Rendy merebahkan kepalanya di atas meja sambil bermain pen spining.
"Masa depan lo itu Lucinta Luna," timpal Surya.
"Pedang-pedangan dong." Vian dan Surya terbahak, apalagi saat melihat wajah masam Rendy, tawa mereka semakin meledak. Sementara itu, Aksel dan Reno hanya bergeming dan bergulat dengan pikiran masing-masing.
"Lo berdua lagi sariawan berjamaah apa gimana sih? Diem mulu kayak anak perawan ngambek nggak dibeliin pambalut," celetuk Surya gemas melihat keterdiaman dua makhluk di hadapannya itu. Memang sih keduanya hobi diam, tetapi kali ini serasa berbeda. Seperti ada abu-abu yang menyelimuti pikiran keduanya.
"Si Reno mah tiap hari juga sariawan, kalo Aksel mungkin kamusnya abis kali, bingung mau ngomong apaan," timpal Vian asal.
"Ngomong apaan dah lo, gajelas banget, sumpah."
"Lo yang gajelas." Vian melempar pena milik Surya dan hampir mengenai dahi Rendy. Naasnya, pena tak berdosa itu meleset lalu malah mengenai pinggiran meja besi di sudut ruangan dan patah menjadi dua.
Surya yang melihatnya melotot. "Pulpen gue!" teriaknya heboh. Ia langsung berlari menghampiri mendiang pena hasil curiannya. Matanya menatap sedih temannya mencoret-coret bagian belakang bukunya saat pelajaran mulai membosankan untuknya.
"Aelah, lebay lo! Pulpen gitu doang lo tangisin kayak ditinggal doi pergi."
"Tau lo, pulpen nyolong juga," sindir Rendy karena ternyata pulpen itu adalah mantannya--eh, mantan pulpennya yang dicuri Surya saat dirinya sedang membuang hajat di toilet. Padahal hanya ditinggal kurang dari sepuluh menit. Teman laknat memang.
Reno berdecak melihat kelakuan absurd teman-temannya. "Lo bertiga diem sebentar aja kenapa sih?!"
Rendy, Surya, dan Vian menoleh. "Akhirnya ngomong juga lo," kata Rendy.
"Udah sembuh sariawannya, Bwang?" tanya Vian dengan nada manja yang dibuat-buat.
Surya menatapnya jijik. "Jijikin lo, kutil badak."
Reno menghela napas. "Jangan mulai lagi!" tegasnya membuat ketiganya menciut. Entah mengapa hari ini rasanya ia malas sekali mendengar keributan. Reno ingin ketenangan, tetapi lelaki itu baru sadar bahwa tidak ada ketengan selagi ada ketiga temannya itu. "Gue balik duluan," ujarnya setelah sebelumnya menarik tas hitamnya di atas meja. Ia berdiri laiu beranjak pergi meninggalkan balon dan kertas harapannya di meja perpustakaan.
"Yah, ngambek," celetuk Vian.
"Elo sih," kata Rendy menyalahkan Surya yang sudah duduk kembali di sampingnya.
Surya mendelik. "Kok gue?!"
"Lo bertiga diem atau gue ikut balik?" Ancaman Aksel yang sedari tadi diam pun membuat ketiganya langsung mengatupkan mulut rapat-rapat dan berpura-pura sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aksel menghela napas pelan. Diraihnya pena dan kertas kecil miliknya lalu mulai menuliskan harapannya. Kembalikan Alicia jika itu bisa membuat mama sembuh. Aksel menipiskan bibirnya menatap kertas kecil itu. Meski ia sebenci apapun dengan mendiang kakak perempuannya itu, tetapi masih ada rasa sayang yang besar untuk perempuan kedua di hidupnya itu. Aksel masih sangat menyayangi Alicia.
Lelaki itu menghelas napas sekali lagi. Kemudian dilipatnya kertas itu lalu dimasukkan ke dalam balon setelah sebelumnya meniupnya menjadi ukuran yang cukuo besar. Katanya semakin besar ukuran balon itu, semakin dekat pula harapan itu dengan tangan Tuhan. Diam-diam Aksel tertawa dalam hati. Sejak kapan ia percaya mitos seaneh itu? Mungkin sejak hidupnya jadi kacau setelah kepergian Alicia. Ia lalu mengikat balon itu dengan tali. Tanpa sengaja matanya melirik kertas harapan milik Reno yang--entah sengaja atau tidak--tidak dilipat, memberika akses siapa saja untuk melihat harapannya.
Kabulkan harapannya.
Kedua alis tebal milik Aksel terangkat. Siapa?
*****
Minggu, 18 Agustus 2019
19.48 WIBBaru bisa update huhu:"(
Maafkan yang menunggu karena aku disibukkan sama rl. Biasalah, pelajar:")
Dan, kenapa part ini gaje banget kayak kelakuan tiga pangeranku?:")Btw, sebenernya aku kalo update itu nggak diedit dulu:v jadi maaf kalo banyak typo. Kalo nemu typo, komen aja.
With love❤
Miftalutfi
KAMU SEDANG MEMBACA
Monokrom
Fiksi RemajaAksel punya hobi yang aneh dan kejam: menindas orang yang lebih lemah darinya, apalagi orang yang terlahir dengan kekurangan fisik. King bullying itu menjadikan Alisa korbannya. Gadis tunawicara yang entah bagaimana dan entah sejak kapan mengambil a...