14. Jeda

430 46 7
                                    

"Berikan jeda sebelum hati lebih dalam terluka."

*****

"Gue anter balik."

Alisa mengedipkan mata beberapa kali. Ia tidak salah dengar, kan? Ada angin apa sampai-sampai lelaki ini tiba-tiba mau mengantarnya pulang? Padahal sebelumnya ia cuek-cuek saja melenggang pergi dari rumah Sasa. Lagi pula bukankah tadi Aksel pulang bersama Reno menggunakan mobil sejak tadi? Lalu mengapa masih ada di kompleks ini dengan mengendarai motor? Seragam putih abu-abunya pun sudah berganti dengan kaos pendek berwarna hitam polos dengan jaket denim yang menutupinya, serta jeans hitam dan senakers putih yang menghiasi kaki jenjangnya.

Dan yang lebih anehnya lagi, sejak kapan si king bullying seperti Aksel bersimpati kepada sasaran empuk bully seperti Alisa?

Melihat Alisa yang hanya terdiam tanpa merespon, Aksel berdecak. "Setelah bisu, lo juga jadi budek sekarang?" sarkasnya. Ia langsung turun dari ninja birunya lalu menghampiri Alisa. "Jangan bikin gue nelantarin lo di jalan gini malem-malem. Gue nggak jamin di sini aman buat orang yang nggak bisa teriak minta tolong kaya lo," sarkasnya, lagi. Mungkin memang mulut seorang Aksel Alfredo sudah didesain untuk mengucapkan kata-kata pedas.

Tanpa aba-aba, lelaki itu menarik Alisa ke dekat motornya lalu memakaikan helm merah di kepala Alisa. Semuanya berlangsung secara cepat membuat Alisa hanya diam terkaget tanpa melawan. Saat sadar ia malah melihat Aksel yang berdiam diri menatapnya dengan sorotan aneh seperti biasanya. Tangan besar lelaki itu masih berada di bawah dagunya, padahal helmnya telah terkunci dengan benar.

Untuk beberapa saat mereka sama-sama bergeming. Mata mereka terkunci satu sama lain, seperti tengah menyelami pikiran lawannya. Tatapan mereka kemudian terputus saat Aksel memalingkan wajahnya yang berhias semburat merah sampai ke telinganya. Alisa menatapnya bingung. Aksel ... marah? Tapi, kenapa?

"Buruan naik!" Kemudian lelaki itu menaiki motornya sambil memakai helmnya sendiri. Dengan ragu Alisa menaiki motor besar itu dengan berpegangan pada pundak Aksel. Gadis berkucir kuda itu berdoa semoga Aksel tidak semakin marah padanya.

Setelah memastikan Alisa duduk dengan benar, Aksel mulai menjalankan motornya dengan kecepatan sedang membelah jalanan kompleks mewah itu yang sepi saat purnama perlahan mulai menggantikan jingganya senja.

*****

Sasa menatap dirinya di depan cermin. Wajah cantiknya dihiasi make up tipis yang natural, membuat wajahnya makin cantik. Ia merapikan rambut hitam panjangnya yang disanggul menyisakan sedikit di kanan kirinya. Gadis itu memakai dress selutut berlengan panjang berwarna hitam dengan hiasan pita sedikit besar di pinggang sebelah kanannya juga high heels berwarna hitam yang melengkapi penampilannya. Perfect. Ia lalu mengambil mini bag-nya juga ponselnya yang sudah berisik dengan notifikasi dari orang tuanya yang mengiriminya pesan agar ia tidak telat.

Ia menuruni tangga. Saat sampai pada anak tangga terakhir, matanya tertuju pada seorang lelaki yang tidak ia kenal duduk di sofa tengah berbicara dengan Mbak Rumi, asisten rumah tangga di rumahnya. "Mbak Rum." Wanita tiga puluhan tahun itu menoleh diikuti oleh pemuda asing itu.

"Eh, itu Non Sasanya udah turun, Mas."

"Siapa, Mbak?" tanya Sasa karena merasa terkacangi.

Saat Mbak Rumi akan menjawab, lelaki itu menyela, "Dika, sepupunya Aksel." Dika berdiri lalu menghampiri Sasa.

"Oh. Ada urusan apa ke sini? Ada barang sespupu lo yang ketinggalan di sini?"

Dika menggeleng. "Gue nyari Alisa. Dia masih di sini, kan?"

Sasa menatapnya curiga. "Ngapain lo nyariin Alisa?"

"Gue mau jemput dia."

"Sayangnya Alisa udah pulang duluan tadi. Lo telat. Jadi, mending lo balik," jawab Sasa cuek sambil menyilangkan tangannya di depan dada.

"Sendiri?"

"Lo kenapa sih nyariin Alisa?! Mau lo bully kayak yang sepupu lo lakuin?!" Kali ini Sasa sedikit menaikkan nada suaranya.

"Jawab aja! Dia pulang sendiri?!" Dika pun ikut menaikkan suaranya. Ia terlalu panik. Kalau Alisa kenapa-kenapa di jalan bagaimana?

"Kalo iya kena--" Dika langsung berbalik dan pergi begitu saja tanpa pamit. Sasa menatapnya cengo. "What the--! Tamu nggak sopan," sewotnya.

*****

Alisa duduk tegang di belakang Aksel yang serius menatap traffic light yang menampilkan warna merah. Gadis itu gugup dan takut. Banyak hal pertama-nya saat ini. Pertama kalinya naik motor, apalagi motor besar seperti ini. Pertama kalinya ia dibonceng oleh lelaki, apalagi itu Aksel. Lalu pertama kalinya ia sedekat ini dengan Aksel yang membuat jantungnya bertalu-talu layaknya gendang yang dipukul yang biasanya menjadi backsound film-film India.

Pikirannya mengelana. Bagaimana jika Aksel menabrakkan motornya pada pohon yang berjarak beberapa meter dari tempat mereka karena sangat membencinya? Atau bagaiman jika Aksel malah membawanya ke hutan yang jauh dari pemukiman lalu menurunkannya di sana? Atau--

Alisa refleks melingkarkan tangannya di pinggang Aksel saat lelaki itu menarik kencang gas motornya. Ia terkejut dan takut sampai tidak menyadari apa yang dilakukannya saat ini juga tak menyadari jantung Aksel yang memompa cepat. Gadis itu tetap memeluk Aksel sambil memejamkan mata sampai di tempat tujuan. Diam-diam juga Alisa menikmati harum maskulin lelaki itu juga punggung kokohnya yang begitu nyaman untuk dipeluk.

"Mau sampe kapan lo meluk gue?!" Aksel bersuara dingin, padahal jantungnya serasa akan melompat ke luar.

Alisa yang terkejut langsung melepaskan pelukannya. Wajahnya memerah. Ia merutuk dalam hati, menyalahkan dirinya sendiri yang terbuai dengan harum dan kokohnya tubuh Aksel. Ia menunduk takut. Aksel yang melihatnya tersenyum tipis. Lucu.

"Turun!" Alisa turun dengan berpegangan pada tangan besar Aksel. Saat sudah mendarat sempurna di tanah, gadis itu menyadari sesuatu. Tangannya masih digenggaman hangat Aksel. Matanya terbelalak, refleks menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman pemuda jangkung itu. Aksel tersentak, tetapi sedetik kemudian ia dilanda kegugupan. Ia berdehem pelan untuk mengurangi kegugupannya. "Temenin gue makan, baru gue anter pulang," ujarnya sebelum melangkah memasuki tenda penjual sate di pinggir jalan.

Alisa meperhatikan sekelilingnya. Mereka berhenti di sebuah warung sate pinggir jalan yang dekat dengan kompleks tempat tinggal Aksel. Kemudian ia mengalihkan tatapannya pada tenda yang tadi dimasuki Aksel. Tenda tukang sate yang penjualnya kalau tidak salah merupakan teman lama bundanya, Pakde Nardi namanya. "Ngapain lo di situ?" Alisa tersentak begitu mendengar suara Aksel yang berdiri menatapnya dari dalam tenda. Dengan segera ia melangkah menghampiri pemuda itu dan duduk di sampingnya, meski berjarak cukup besar.

"Lho, Neng Lisa tumben ke sini? Nggak sama bunda lagi. Sama siapa ini? Pacarnya?" tanya Pakde Nardi begitu tak sengaja melihat Alisa yang duduk sambil menunduk di samping seorang pemuda asing.

Alisa mengangkat kepalanya, memandang Pakde Nardi dengan kikuk. Ia kemudian menggeleng sambil tersenyum tipis.

"Iya, saya pacarnya Alisa."

Sontak gadis itu menoleh dan menatap penuh protes ke arah si pelaku pembohongan publik itu, siapa lagi kalau bukan Aksel Alfredo yang mulutnya sering tidak berfilter itu? "Maksud kamu apa?" Alisa bertanya dengan bahasa isyarat.

Aksel hanya menatapnya sekilas kemudian memilih beralih pada Pakde Nardi yang menatap keduanya penuh tanya. "Saya pesen sate dua porsi." Lalu dengan cueknya ia bercengkrama dengan ponsel pintarnya. Sepertinya sedang bermain game.

Alisa menghela napas. Entah apa yang sedang merasuki king bullying ini. Sepertinya setan penunggu pohon mangga yang berada tepat di samping tenda warung sate ini. Alisa harap, setan itu segera enyah dari tubuh Aksel agar ia tidak dibuat makin bingung lagi dengan tingkah random pemuda itu.

*****

Habis keluar dari goa guys:v

With love❤
Miftalutfi

MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang