2. Maya yang Nyata

668 85 37
                                    

"Kamu terlalu sukar untuk aku mengerti."

*****

Alisa menatap uluran tangan di depannya. Kepalanya mendongak, siapa gerangan yang mau membantu gadis bisu yang kotor ini? Dika. Hatinya menggumam menatap lelaki yang sangat dikenalnya karena sering melihatnya bersama Aksel.

Dika tersenyum menatap Alisa. "Ayo berdiri! Lo nggak mau diliatin orang terus, kan?"

Alisa menatapnya enggan. Bukan apa-apa, hanya saja ia takut menerima uluran tangan itu dan dihempaskan kembali sebelum ia dapat bangkit. Alisa pernah mengalaminya. Lagi pula Alisa takut membuat Dika dipandang jijik karena menolong gadis sepertinya. Mereka juga sebenarnya tidak pernah mengobrol, hanya saling tahu nama, aneh jika tiba-tiba Dika mau menolongnya meski lelaki itu tidak pernah ikut Aksel mem-bully-nya.

Tiba-tiba tangan mungil ikut terulur padanya membuat Alisa menatap si empunya. Aksal. Entah dari mana bocah itu datang, tiba-tiba saja sudah berdiri di depannya. "Kalo nggak mau ditolongin Bang Dika, sama Aksal aja, Kakak Cantik. Nih, tangan Aksal lebih lembut lho nggak kayak tangannya Bang Dika, kasar," ejek Aksal sembari terkekeh membuat Alisa tersenyum geli sementara Dika mendengus sebal. Kakak adik sama aja, ngeselin.

"Namanya juga tangan cowok, ya wajar kalo kasar, malah kalo tangan cowok lembut patut dicurigai. Kalo kamu kan masih kecil nggak pegang yang berat-berat, ya belum kasarlah," sanggah Dika setelah Alisa menerima uluran tangannya dan Aksal lalu berdiri.

"Tangannya Bang Aksel tapi nggak kasar kok, lembut. Aksal aja seneng dielusin pipinya sama Bang Aksel kalo mau tidur," bantah Aksal membayangkan kebiasaannya sebelum tidur beberapa tahun ini setelah mamanya tidak bisa memanjakannya lagi. Aksel akan dengan senang hati menemani adiknya itu tidur sembari mengelus-elus pipinya dengan lembut, seperti kebiasaan mamanya dulu.

Aksel? Dia kakaknya Aksal? Pantas saja nama sama wajah mereka mirip. Alisa memperhatikan wajah Aksal yang imut dan ... tampan, seperti kakaknya. Gadis itu tidak menyangkal bahwa Aksal dan Aksel memiliki wajah yang tampan, begitu juga dengan Dika. Mereka bertiga--jika Aksal sudah remaja--akan terlihat seperti boyband-boyband Korea Selatan saat disandingkan. Ah, pemikiran Alisa terlalu berlebihan. Melihat idola para remaja putri itu saja baru sekali ketika tak sengaja--karena penasaran--ia mengintip Risa and the genk sedang streaming idola mereka itu di laptop Risa.

"Abang kamu tuh patut dicurigai," kekeh Dika. "Lagian kamu udah gede masih manja aja," cibir lelaki itu mengacak rambut Aksal gemas.

"Biarin." Aksal menjulurkan lidahnya. Tatapannya beralih pada Alisa yang memperhatikannya. "Kakak Cantik kenapa?" tanyanya heran. Alisa hanya menggeleng, menampilkan senyum manis andalannya yang entah bagaimana membuat Aksal menyukainya--mungkin kakaknya juga. Matanya memincing menatap ada sisa air mata di sudut mata cantik Alisa. "Kakak abis nangis? Kenapa? Aduh, itu lututnya berdarah, Kak. Sakit ya?" tanya bocah itu menatap khawatir luka di lutut Alisa membuat Alisa dan Dika tersenyum.

"Jangan lebay kayak abangmu deh, Sal! Khawatir banget sama kakak ini. Mau saingan sama abang sableng kamu itu?"

Alisa mengerutkan kening. Saingan? Maksud Dika saingan apa?

"Oh iya, Lis," ujar Dika saat mengingat sesuatu. Ia menyodorkan uang yang diberikan Aksel tadi pada gadis itu. "Nih! Uang lo, kan?" Alisa menatap uang itu dengan binar bahagia disertai tangis haru lalu mengambilnya dan memeluknya erat sambil menggumamkan kata alhamdulillah. Kemudian ia menggerakkan bibirnya mengucapkan terima kasih pada Dika meski tanpa suara yang diangguki pelan oleh Dika. Harusnya elo yang di sini, Aksel bego.

MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang