16. Kejutan

615 48 18
                                    

Di pagi yang cerah ini, Alisa merasa akan ada kejutan yang menantinya. Entah jenis apa kejutan itu, baik atau buruk.

Dan sepertinya Alisa tahu kejutan apa yang dimaksud hatinya, semua orang di sekolah terlihat tidak peduli padanya. Wow! Ini menakjubkan! Mungkin sebagian orang menganggap ini adalah hal yang buruk, tapi bagi orang yang menjalani hidup seperti Alisa akan merasa penderitaannya sudah berakhir. Setidaknya ketidakpeduliaan itu bisa membuat hidupnya lebih tenang, meski ia tahu tidak akan selamanya ia bisa bertahan dengan ketidakpeduliaan itu.

Alisa berjalan tenang di koridor. Biasanya orang-orang akan memperhatikannya atau sekadar meliriknya sekilas. Namun, hari ini gadis itu merasa bahwa dia memiliki kekuatan invisible transparent seperti salah satu tokoh novel fantasi yang pernah dibacanya di perpustakaan sekolah, tidak bisa dilihat atau disentuh. Kenapa? Karena sama sekali tidak ada yang menyadari kehadirannya. Yang paling mengejutkan adalah saat ia tanpa sengaja menyenggol sedikit bahu seorang siswi, ia tidak merasakan sentuhan dan sepertinya siswi itu juga merasa demikian. Buktinya siswi itu hanya berlalu tanpa menatapnya sedikit pun.

Sekali lagi biarkan Alisa mengucapkan: wow! Ini menakjubkan!

Kakinya berjalan di koridor dengan rasa penasaran. Anehnya, sama sekali tak terbesit perasaan takut di benaknya ketika berada dalam keadaan ini. Dia seperti ... mengenal situasi ini. Tapi, tidak mungkin bukan? Atau dirinya mengalami de javu?

Matanya mengamati bangunan sekolah yang terlihat sedikit ... aneh? Sejak kapan cat dinding sekolah ini berwarna biru? Seingatnya kemarin masih berwarna putih dengan warna coklat di beberapa bagian. Manusia mana yang bisa mengecat gedung sebesar itu dalam waktu satu malam? Tidak mungkin bukan tukang bangunannya memiliki semacam magic?

Ketika sampai di kelasnya, Alisa menatap ruang kelasnya tak percaya. Kenapa kelasnya masih penuh dengan barang-barang bermandikan debu seperti ini? Ruangan luas ini awalnya memang gudang saat ia pertama kali memasuki sekolah ini. Namun, saat memasuki tahun ajaran baru, tepatnya saat ia menaiki tingkat kedua, Alisa sangat ingat dia dan teman-teman sekelasnya memindahkan barang-barang itu ke ruang sekretariat ekstrakulikuler sastra yang sudah lama tidak aktif, kemudian membersihkan ruangan itu dan memindahkan kursi beserta meja yang baru datang dari truk yang mengantarnya.

Saat itu sekolah kekurangan ruangan karena murid baru bertambah lebih banyak dari tahun sebelumnya, oleh karenanya pihak sekolah menjadikan gudang sebagai kelas baru untuk XI IPA 1 sebab ruang sekretariat ekstrakulikuler sastra terlalu sempit dan letaknya terpisah dari kelas lainnya. Herannya, kenapa kelas unggulan yang harus menempati gudang itu? Kenapa tidak kelas yang katanya buangan? Itulah pertanyaan yang sampai sekarang masih dipertanyakan oleh para murid.

Alisa mengalihkan tatapannya ke arah tangga ketika ia mendengar suara langkah cepat yang bergerombol dari arah tangga. Di sana ia melihat beberapa orang gadis menyeret seorang gadis lain yang terlihat ketakutan. Dan ia baru sadar, sedari tadi yang dirinya lihat hanya orang-orang berwajah asing. Tidak ada teman sekelasnya, teman seangkatannya, adik kelas, maupun kakak kelas. Seketika itu Alisa diserang rasa takut. Sebenarnya sekarang dirinya berada di mana?

"Heh! Nggak usah ngelawan bisa nggak sih?! Tinggal nurut aja susah banget!" bentak salah satu gadis tadi, gadis berambut paniang kecoklatan. Gadis itu terlihat paling bernafsu menyeret seorang gadis lain, tak peduli dengan kaki si gadis malang yang sesekali menghantam anak tangga cukup keras karena melawan hingga menyebabkan kakinya sedikit membiru.

Alisa merasakan jantungnya berhenti bekerja melihat pemandangan itu, dirinya merasa sedang berkaca. Gadis itu nasibnya mirip dengannya, atau mungkin lebih buruk melihat perlakuan yang lebih menyakitkan dari yang didapatnya selama ini.

"Lo disuruh jalan nggak mau, diseret ngelawan. Gue gelindingin juga lo." Gadis berambut coklat itu melepaskan pegangannya dari si gadis malang. "Lepasin, girls! Biar jalan sendiri, biar nggak manja!" serunya kepada teman-temannya. Beberapa di antara mereka terlihat ragu, tapi karena tangganya tidak terlalu tinggi, mereka melepaskannya.

"Jangan!" Suara teriakan itu terdengar sangat jelas di telinga Alisa saat si gadis malang menggelinding di tangga. Refleks tangannya bergerak menutup mulutnya, lalu berpindah ke leher. Alisa sangat yakin tadi dirinya merasakan getaran dari lehernya.

Apa tadi? Alisa mengeluarkan suara? Tubuhnya bergetar ketakutan. Apa ini mimpi?

*****

"Woy! Kebo, bangun lo!" Suara teriakan laknat disertai gedoran pintu itu membuat Aksel menggeram rendah dengan mata yang masih tertutup. Sungguh tega memang si Dika itu, padahal kan Aksel baru bisa tidur menjelang subuh tadi. "Baruan bangun lo! Kita bisa telat!" Teriakan itu kembali terdengar dan makin keras saja.

"Iya-iya, gue udah bangun!" teriak Aksel lantang, kemudian tak terdengar lagi suara sepupunya itu. Mungkin Dika sedang bersiap-siap untuk ke sekolah.

Dengan mata yang masih terpejam, Aksel mengubah posisinya menjadi duduk. Perlu waktu lama untuk mengumpulkan nyawanya yang masih terpencar entah ke mana saja. Setelah itu, matanya perlahan membuka. Kamarnya masih gelap karena gordennya masih tertutup, hanya ada sedikit cahaya yang masuk melalui ventilasi udara. Kepala Aksel menoleh ke meja belajar, menilik angka pada jam digital di sana, 7.15. "Anjing! Kenapa baru lo bangunin, goblok!" teriaknya sembari berlari ke kamar mandi.

Di ruang makan, Dika yang tengah mengoles selai kacang ke rotinya, menatap sejenak ke arah atas, kemudian mendengus kesal. "Pasti lupa," cibirnya pelan lalu melanjutkan kegiatannya.

Tak butuh waktu lama, sekitar sepuluh menit, Aksel telah keluar dari kamarnya dengan penampilan yang super acak-acakan. Rambut yang masih sangat basah dan tak tersisir membuat air di ujung rambutnya menetes membasahi seragamnya, kemeja putih yang kancingnya salah tempat dan tidak dimasukkan ke celana, dasi yang tak terpasang sempurna, dan tali sepatu yang belum diikat. Sungguh bukan definisi pelajar teladan sama sekali.

Aksel berlari cepat menuruni tangga, sejenak mengedarkan padangan ke penjuru rumah dan menemukan Dika yang duduk santai sambil menikmati sarapan di ruang makan. Pemuda itu langsung berjalan cepat ke arahnya. "Anjing lo, Dik! Kenapa gue baru lo bangunin sih?!" teriaknya kesal dan sialnya Dika malah menatap kelewat santai.

"Mulut lo makin lama makin kotor ya, Sel. Untung Aksal nggak di rumah," celetuk Dika setelah menghabiskan rotinya.

Aksel mendengus. "Bodo amat!" Matanya menatap Dika heran. "Kok lo malah pake serba hitam gitu sih? Mau melayat di mana lo? Siapa yang mati? Jangan bilang hati lo mati karna kelamaan nggak ada yang huni!"

Dika melempar roti tawar yang belum diolesi selai ke arah Aksel dan ditangkap oleh pemuda itu sekaligus berlabuh ke perut Aksel. "Lo belum ngaca sih tadi, jadi nggak sadar diri," cibirnya. Kemudian ia berdeham kecil sebelum melanjutkan. "Kayaknya lo emang lupa, padahal tahun-tahun sebelumnya lo selalu inget hari ini." Aksel menatapnya aneh. Hari ini ... hari Kamis, kan? "8 Maret ulang tahunnya Kak Alice sama nyokap lo."

Deg!

Kenapa bisa Aksel lupa? Dan bagaimana bisa hari Minggu begini Aksel mau sekolah?

*****

Mon maap, tadi ada kesalahan, jadi unpublish dan sekarang udah publish ulang.

Btw, hari ini aku juga ultah lho. Nggak ada yang mau ngucapin apa gitu?😆

With love❤
Miftalutfi

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang