"Alisa!" Dika yang seharusnya dapat membobol gawang lawan menghentikan pergerakannya yang akan menendang bola ketika melihat gadis bisu itu jatuh dan dihantam bola voli tepat di kepalanya. Lelaki itu segera berlari melewati jaring-jaring kawat menjulang tinggi yang membatasi lapangan futsal dan lapangan voli. Ia mengabaikan panggilan teman-temannya dan nasib tim futsal kelasnya. Bahkan saat tim lawan dan para pendukungnya bersorak 'goal', ia seolah menulikan telinganya dan berfokus pada Alisa yang masih terbaring tak berdaya di pinggir lapangan tanpa ada yang berniat menolong. Kejam memang.
Risa berdiri memperhatikan dengan jantung yang berpacu amat cepat, meremas tangannya yang sudah mengeluarkan keringat dingin. Ia tidak bisa melihat keadaan seperti ini, tetapi tubuhnya seolah menolak untuk bergerak menolong atau sekadar memalingkan wajah untuk menghindari pemandangan seperti ini, lagi. Tubuhnya serasa lemas seperti waktu itu. Ia masih sama, tidak berdaya membuat rasa bersalah kembali muncul, tapi sekali lagi ia tidak berdaya. Risa mencoba memejamkan mata dan mangatur detak jantungnya. "Bukan salah gue. Ini bukan salah gue!"
"Lo semua gila atau buta! Liat yang kayak begini masih diem!" teriak Dika pada semua manusia di sana.
Sementara itu, Reno, Rendy, dan Surya yang baru saja datang terkejut melihat Dika yang berteriak murka dengan Alisa yang terbaring tak berdaya di sampingnya. Reno segera melesat menghampiri diikuti Surya dan Rendy. "Dia keburu mati kalo lo ngomelin mereka dulu," desis Reno yang langsung membawa Alisa ke dalam gendongannya. Kemudian ia melangkah cepat menuju UKS yang untungnya tidak jauh dari gedung olahraga.
Dika yang menyadari segera berlari menyusul. Rendy sendiri segera menghubungi Vian dan Surya yang menatap Angel serta Risa yang masih menutup matanya. "Kejamnya nggak tanggung-tanggung," desisnya.
Sesampainya di UKS, Reno langsung membaringkan Alisa pada brankar. Mbak Lia, seorang dokter yang mengurus UKS menghampiri. "Lisa kenapa mukanya sampek pucet gini?" tanya Mbak Lia pada Reno sembari melonggarkan ikatan-ikatan pada tubuh Alisa.
Sementara yang ditanya malah melirik ke samping kanannya di mana Dika menatap Alisa khawatir, bahkan wajahnya hampir sepucat Alisa. Dika yang merasa diperhatikan mengerti lalu menjawab dengan gelagapan, "I-itu, tadi kepleset terus kepalanya kena bola voli."
Reno mengangkat alisnya. Mengapa Dika terlihat setakut ini? Memang Reno tidak tahu sendiri kejadiannya, tetapi sepertinya keadaan Alisa tidak terlalu buruk sampai-sampai Dika harus setakut ini. "Lo kenapa takut gitu?"
Dika tersentak mendapat pertanyaan dari Reno. Beberapa saat kemudian ia mencoba mengatur degup jantungnya yang terlalu keras bekerja. Mengembuskan napas sejenak kemudian ia menjawab, "Gue cuma takut ada pendarahan di otaknya. Tadi jatuhnya keras banget, ditambah bola voli tadi di-smash kuat banget." Dika mencoba menjawab dengan tenang. Meski jawabannya tidak sepenuhnya bohong dan sangat masuk akal, membohongi Reno itu bukanlah suatu yang mudah. Bahkan alasan masuk akal itu masih membuat dahi lelaki cerdas itu mengerut tipis.
"Terus kenapa lo nggak ngomong langsung bawa ke rumah sakit aja?" tanya Reno yang masih belum puas dengan jawaban Dika yang terdengar ragu baginya.
"Kalian masih mau ngerumpi di situ sampek Lisa sadar?" tanya Mbak Lia menatap kedua lelaki itu. "Tenang, kayaknya Lisa nggak sampek pendarahan di otak. Mungkin butuh waktu lama untuk sadar. Kalo kalian mau berdiri di situ terus sih terserah. Mbak pergi dulu, titip Lisa," jelas Mbak Lia lalu berlalu meninggalkan UKS.
Di saat yang bersamaan, Aksel dan Vian sampai di depan UKS. Melihat Mbak Lia akan keluar, Aksel menghadangnya. "Mbak, Lisa gimana?" tanyanya panik.
Mbak Lia mengangkat alisnya. "Serius kamu nanyain Lisa? Bukannya kamu penyebabnya?" ejek wanita berusia 22 tahun itu.
Aksel mengembuskan napas kasar. Setitik noda hitam pada selembar kertas putih saja akan selalu menjadi perhatian, apalagi noda besar yang diciptakannya? Apapun yang dilakukannya akan selalu terlihat salah di mata orang-orang yang hanya melihat sisi negatifnya tanpa menilik sisi positifnya. "Saya emang sering bully orang, tapi saya nggak pernah nyakitin fisiknya," jelasnya tenang.
Mbak Lia mencibir, "Sama aja, psikisnya yang sakit karena kelakuan kamu." Matanya menatap Aksel tajam, tetapi sedetik kemudian tatapannya melembut diiringi helaan napasnya. "Alisa nggak papa, tapi mungkin sadarnya lama. Saya pergi dulu." Setelahnya Mbak Lia berlalu pergi.
Ketika Aksel akan melangkah masuk, Vian mencegahnya. "Dari tadi Bagas nyepamin voice note mulu nih, lo suruh balik ke lapangan sekarang." Aksel akan membuka mulutnya, tetapi Vian lebih dulu menyela. "Kata Mbak Lia, Lisa nggak papa. Jadi, lo nggak perlu khawatir. Ada Reno sama Dika juga di dalem. Sekarang tanggung jawab lo itu buat kelas di lapangan, bukan di sini," ujar Vian serius. Akhirnya mau tidak mau Aksel kembali ke lapangan dengan perasaan mengganjal di hatinya.
Tunggu! Perasaan apa ini? Kemanusiaan atau apa? Mengapa ia sekhawatir ini?
Aksel mengembuskan napasnya pelan kemudian berlari menuju lapangan. Vian yang melihatnya menatap heran. "Tadi nggak mau ninggalin pujaan hatinya, sekarang semangat banget larinya," gumamnya kemudian ikut berlari menyusul.
*****
"Lo udah sadar? Ada yang sakit? Atau lo masih pusing?" Pertanyaan beruntun itu dilontarkan Dika sesaat setelah Alisa membuka matanya.
Reno yang awalnya menatap Alisa mengalihkan tatapannya pada lelaki itu. "Lo mau bikin Alisa langsung geger otak?"
"Nggak ada sejarahnya orang geger otak cuma karena ditanyain," ucap Dika menatap Reno sinis.
"Ada kalo lo nanyainnya kaya kereta gitu," jawab Reno tak mau kalah.
Dika mengabaikannya, memilih menatap Alisa yang memperhatikan mereka dengan raut bingung. "Masih pusing?" tanyanya lembut penuh nada khawatir membuat yang ditanya mengerjakan matanya pelan. Alisa mengangguk kaku. "Bener?" Gadis itu mengangguk lagi, kali ini lebih yakin.
"Khawatir banget lo kayaknya?" sinis Reno yang kembali diabaikan oleh Dika. Ia kemudian mengalihkan atensinya pada Alisa. "Kalo ada yang sakit ngomong, pangeran berkuda putih lo ini bakal siap siaga buat lo," sindirnya yang lagi-lagi diabaikan oleh Dika.
Alisa mengangguk. Kepalanya memang masih sedikit pusing, tetapi tidak separah tadi. Jadi, ada baiknya ia tidak perlu membuat Dika semakin khawatir. Tunggu! Memangnya Dika bersikap seperti ini karena khawatir padanya?
"Nggak usah kebanyakan mikir! Makin sakit entar kepala lo," kata Reno membuat Alisa beralih memperhatikannya. Lelaki itu menyodorkan teh hangat yang entah didapatnya dari mana. "Nih minum dulu." Alisa mendudukkan tubuhnya lalu meminum teh hangat itu. Setelah itu ia kembali berbaring. "Mending lo pulang aja istirahat atau di sini aja sampai acara selesai." Lagi-lagi Alisa hanya mengangguk patuh.
"Lo juga kenapa jadi cerewet gini?"
"Nggak. Gue biasa aja."
"Biasa apanya. Reno yang cuek berubah jadi cerewet plus perhatian begini sama cewek. Wajar dong gue curiga."
Reno menoleh pada Dika. "Terus kenapa lo keliatan khawatir banget? Padahal dia nggak papa. Gue tau lo pedulian sama sekitar, tapi gue baru pertama kali liat muka lo sampek sepucet itu."
Dika terbungkam tak bisa menyangkal membuat Reno semakin yakin akan dugaannya. "Lo suka sama Lisa?" tanya Reno.
Dua orang itu langsung terkejut. Apalagi Alisa yang bingung harus berekspresi bagaimana. "Terserah lo mikir apa, nggak ngaruh sama gue." Setelah mengatakan kalimat itu, Dika berlalu pergi meninggalkan UKS.
Reno menatapnya sembari tersenyum miring. "Gue yakin alasan lo nggak sesimpel itu."
*****
Kamis, 4 Juli 2019
11.55 WIBWith love❤
Miftalutfi

KAMU SEDANG MEMBACA
Monokrom
Fiksi RemajaAksel punya hobi yang aneh dan kejam: menindas orang yang lebih lemah darinya, apalagi orang yang terlahir dengan kekurangan fisik. King bullying itu menjadikan Alisa korbannya. Gadis tunawicara yang entah bagaimana dan entah sejak kapan mengambil a...