Bel berbunyi nyaring diikuti manusia-manusia berseragam putih abu-abu yang berhamburan keluar kelas layaknya gerombolan semut yang sarangnya tersiram air panas. Mereka seperti baru saja keluar dari sauna setelah seharian ini dijejali oleh pelajaran-palajaran yang membuat otak mereka berdenyut nyeri. Namun, sepertinya belajar seharian tidak cukup bagi guru-guru tercinta mereka sehingga berbagai tugas, dari individu sampai kelompok, terus bertambah.
Dear Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Ini otak manusia yang butuh istirahat, bukan otak komputer yang bisa terus bekerja 24 jam nonstop.
Ya, begitulah kira-kira pikiran para pelajar, apalagi para pejuang lima hari kerja rodi ditambah satu hari kerja romusha. Jangan lupakan hari Minggu yang seharusnya waktu di mana otak diistirahatkan malah menjadi hari mengerjakan pekerjaan rumah.
Sementara itu, di salah satu kelas yang berada di lantai dua masih terisi lima orang siswa yang sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Vian berdecak-decak sambil menggeleng heran. Tangannya membolak-balik halaman pada buku paket Matematika yang penuh angka. "Ini yang nulis buku semedi berapa abad dulu dah bisa bikin soal sedikit tapi beranak banyak begini?" Gaya duduknya sekarang sudah seperti anak rajin.
Aksel menimpali sambil masih berfokus pada game online di ponsel pintarnya dengan posisi tiduran di atas dua meja dengan kedua kaki yang ditumpukan pada tembok, "Nggak usah berlagak sok rajin lo ngurusin begituan." Nada bicara dan kelakuannya terlalu santai untuk anak IPA yang sering disebut sebagai akronim dari Ikatan Pelajar Alim. Harusnya Aksel mengambil jurusan IPS yang katanya merupakan perhimpunan para pelajar santuy. Kata mereka, IPS itu Ikatan Pelajar Santuy.
Memang ajaib darah muda Indonesia zaman sekarang.
"Anjir!"
"Apaan sih, anjing!"
"Ngagetin goblok!"
Rendy dan Surya mengumpat hampir bersamaan saat Vian tiba-tiba berteriak sambil berdiri dan menggebrak meja.
"Hari ini bukannya kita janjian ngerjain tugas kelompok sama anak IPA 1, Sel, Ren?" tanya Vian dengan histeris.
Aksel sendiri hanya melirik sejenak tanpa peduli banyak, sedangkan Reno tetap dalam posisi duduk anteng di kursi dengan kedua kaki yang bertumpu pada meja dan mata yang memejam sambil mendongak ke atas. Semoga saja ia tidak mendadak menjadi hantu yang terkenal di Jepang itu.
Vian mencebikkan bibirnya sambil kembali duduk karena terkacangi. "Kenapa pada santai banget dah?" dengusnya sebal.
"Ya, tumbenan banget lo mau ngerjain tugas kelompok, apalagi sama kelas lain."
Senyum tipis tersungging di bibir Vian. Ia menerawang pada kejadian saat bazar kemarin, lebih tepatnya mengingat wajah cantik nan imut juga jutek di saat bersamaan milik teman baru Alisa, Sasa. "Kan ada Sasa," gumamnya malu-malu tahi kucing.
Surya dan Rendy menatapnya sambil ternganga. Aksel sendiri kini sudah duduk bersila di atas meja sambil memusatkan perhatian pada Vian. Sementara Reno tetap dalam posisi, tetapi telinga telah berfokus pada suara milik Vian.
"Bidadari jutek gue," tambahnya senyum-senyum layaknya manusia bucin di luaran sana. Ah, lelaki imut itu memang telah bertransformasi menjadi bucin semenjak bertemu dengan bidadarinya saat bazar kemarin.
Surya bergidik ngeri, sementara Rendy sudah mulai merasa mual. "Bucin baru, guys," gumam Surya yang diangguki oleh Rendy. Aksel sendiri mendengus, tak habis pikir mengapa ada manusia sejenis Vian.
*****
"Senyumanmu yang indah bagaikan candu. Ingin terus kulihat walau dari jauh." Suara lembut Sasa terdengar merdu diiringi suara gitar akustik miliknya. Alisa tersenyum mendengarnya. Lirik itu terlalu menggambarkan dirinya.
Mereka berdua saat ini tengah berada di ruang keluarga di rumah Sasa, berencana mengerjakan tugas kelompok. Namun, tiga manusia lainnya belum juga muncul. Padahal ini sudah melewati setengah jam dari perjanjian. Kebiasaan warga negara ini, jam karet. Atau mungkin malah tidak datang?
Sasa berdecak sebal. "Capek ah, nunggu mereka. Ngabisin waktu sama tenaga aja," gerutunya, menyandarkan tubuh pada sandaran sofa dengan kasar sembari melipat kedua tangannya di depan dada. "Kita kerjain berdua aja deh, Lis. Entar nama mereka nggak usah ditulis, biarin kosong tuh kolom nilai mereka."
Alisa menggeleng. Itu namanya tidak adil. Mereka satu kelompok, tidak bisa seenaknya mereka memutuskan sesuatu tanpa berdiskusi dahulu. Alisa yakin Aksel dan teman-temannya pasti datang. Sasa berdecak. "Terserah deh," ujarnya kesal lalu beranjak menuju dapur. Mendebat Alisa dan menunggu makhluk luar angkasa itu datang membuatnya haus.
Tak lama terdengar suara mobil berhenti di halaman rumah Sasa yang luas. Alisa yang yakin pemilik mobil itu adalah orang yang ia dan Sasa tunggu, tanpa pikir lama bangkit dan berlari menuju pintu utama. Saat pintu terbuka, tiga remaja lelaki terlihat berdiri dengan ekspresi yang hampir sama. Namun, jelas terlihat dua di antaranya menampilkan wajah mager luar biasa, sementara yang berdiri di tengah menampilkan raut datar yang tersembunyi raut senang di sana.
Alisa tersenyum tipis. Agak canggung berhadapan dengan predatornya seperti ini. Ia lalu menggeser tubuhnya mempersilakan ketiganya masuk. Setelah menutup pintu, Alisa menggiring mereka ke ruang keluarga. Di sana ternyata sudah ada Sasa yang sedang memangku setoples biskuit coklat sambil mengunyah dan menatap nyalang ke arah tiga lelaki itu. "Nggak usah dateng sekalian aja," sinisnya. Namun, ia tetap bangkit untuk pindah ke sofa yang muat untuk dua orang saja. Di meja pun telah tersedia lima jus jeruk.
Aksel, Reno, dan vian mengabaikannya dan memilih menghempaskan tubuh di sofa merah itu. Kemudian sibuk dengan ponselnya masing-masing sementara Alisa dan Sasa sudah mulai bekerja.
What the--?!
"Lo bertiga niat nugas nggak sih?! Kalo nggak mending balik daripada ngotor-ngotorin runah gue doang!" Sasa berseru marah membanting buku paketnya ke meja. Alisa sendiri hanya diam, fokus mengetik pada laptop di depannya meski sempat terlonjak kaget.
Aksel mendelik tidak senang. "Berisik!"
Mata Sasa melebar. "Apa lo bilang?! Berisik?! Gue nggak akan berisik kalo lo nggak bikin tensi gue naik."
"Gue nggak suka berisik." Aksel berkata tajam.
"Gue nggak peduli." Sasa membalas penuh penekanan.
Semua terlonjak kaget ketika Reno meletakkan ponselnya kasar di atas meja. "Cepet selsaiin! Gue enek," ujarnya datar. Ia mengambil kasar buku paket yang tadi dibanting Sasa. Kemudian semuanya hening, sibuk dengan tugas masing-masing.
Sementara itu Alisa dan Vian menghela napas diam-diam. Semua akan sulit.
*****
Minggu, 1 September 2019
16.57 WIBUdah lama up, pendek banget, nggak penting lagi:/
With love❤
Miftalutfi

KAMU SEDANG MEMBACA
Monokrom
Teen FictionAksel punya hobi yang aneh dan kejam: menindas orang yang lebih lemah darinya, apalagi orang yang terlahir dengan kekurangan fisik. King bullying itu menjadikan Alisa korbannya. Gadis tunawicara yang entah bagaimana dan entah sejak kapan mengambil a...