3. Tak Mengerti

539 78 32
                                        

Alisa duduk anteng di samping Aksel, memperhatikan lelaki itu bermain game dengan beberapa temannya yang duduk di kursi-kursi kelas yang ditarik melingkari meja Aksel. Untung saja di samping kanan Alisa dikosongkan, jadi Alisa bisa bernapas dengan tenang.

Harusnya saat ini para murid sedang sibuk mempersiapkan kelas mereka untuk festival tahunan sekolah yang akan berlangsung lusa sampai tiga hari ke depan. Seperti murid-murid kelas XI IPA 3 ini, kecuali Aksel dan kawan-kawan yang malah asyik bermain game. Memang dasarnya bandel dan tidak ada yang berani mengusik membuat mereka berbuat semaunya, termasuk melibatkan Alisa di dalamnya.

Gadis itu memainkan tangan di bawah meja, tak mengerti kenapa ia harus tetap di sini setelah mengantar jeruk hangat untuk Aksel, bahkan jeruk hangat itu masih utuh di atas meja, belum disentuh Aksel sama sekali. Jujur saja, ia tidak nyaman berada di sini. Berbagai tatapan menghujaninya, terutama teman-teman Aksel yang mengelilingi meja lelaki itu di sela-sela permainan mereka. Lagi pula, siapa sih mangsa yang dengan senang hati mau dikelilingi macan dan antek-anteknya?

"Kenapa?" Alisa terkesiap mendengar suara di sebelahnya. Ia kemudian menggeleng pelan lalu menunduk takut kena damprat karena ketahuan memperhatikan predatornya terang-terangan. "Lo bingung kenapa lo harus duduk anteng di sini?" tanya Aksel.

Alisa mengangguk pelan. Memang itu pertanyaan utama yang berseliweran di benaknya. Kenapa Aksel memintanya tetap di sini tanpa melakukan apapun? Biasanya jika berada di sekitar lelaki itu, Alisa akan menjadi babu atau setidaknya bahan caci-makiannya. Bukannya suka di-bully, tetapi aneh saja Aksel bersikap seperti ini.

Tiba-tiba Reno yang duduk di depan Alisa menyodorkan sebungkus besar permen yang mereknya tak Alisa kenali. Gadis itu mendongak, menatap Reno bingung. "Habisin itu permen, jangan sampai ada sisa! Cuma lima puluh biji, nggak usah nawar," terangnya cuek. Kemudian kembali pada aktivitasnya: bermain game.

Alisa menggapai bungkusan itu kemudian menelitinya. Permen rasa rujak. Matanya membulat. Rujak? Pasti pedas dan asam menjadi satu. Alisa memencet isinya, memperkirakan ukuran permen-permen itu dan sialnya ukurannya cukup besar. Apa kabar lambungnya yang menderita maag meski tidak parah? Lima puluh itu bukan jumlah yang sedikit. Reno ingin membuatnya berkunjung ke tempat yang paling dibencinya atau lelaki itu memang tidak tahu tentang penyakitnya?

Gadis itu menatap Reno yang masih asyik dengan ponselnya. Dengan ragu ia menyentuh pelan tangan lelaki itu yang langsung ditepis kasar oleh si empunya. "Apa sih?!" geram Reno.

Alisa mencoba menampilkan wajah memelasnya, tapi Reno tetap pada pendiriannya dan malah kembali bermesraan dengan ponsel pintarnya. Jujur saja, sebenarnya Reno sendiri agak goyah ketika melihat wajah memelas Alisa yang menurutnya sangat kawaii, seperti loli-loli dalam anime yang ditontonnya. Namun, wajah itu tidak sampai membuatnya berkhianat pada pendiriannya di awal.

Tidak berhasil membujuk Reno membuat Alisa beralih pada kepada keempat teman Reno yang lain. Mereka menatapnya dengan tatapan berbeda-beda, kecuali Aksel yang malah memandangi layar ponselnya yang menampilkan warna hitam. Apa yang menarik dari ponsel dalam keadaan mati?

"Udahlah makan aja tuh permen, kapan lagi dapat makanan gratis dari Reno yang cuek," sahut Surya.

"Nggak bakal langsung panggil penggali kubur. Palingan nanti panggil ambulance," timpal Rendy santai.

"Atau lo mau makan dua porsi samyang plus sebotol Boncabe level 30?" Alisa menatap Vian terkejut. Yang benar saja. Alisa tidak mau menjadi penghuni abadi rumah sakit.

MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang