"Lo lagi ngehalu ya?!"
Alisa terkesiap lalu refleks menoleh ke samping kanannya di mana seorang gadis berkulit putih susu dengan rambut hitam berkilau menatapnya horor. Alisa mengerjap sesaat, bidadari tak bersayapnya Anji datang di hadapannya mungkin. Wajah cantik itu sempat membuatnya terpana, padahal Alisa wanita normal. Namun sungguh, gadis itu sangat cantik. Asumsi itu diperkuat dengan adanya para lelaki yang sedari tadi memperhatikan gadis itu bak melihat Kendal Jenner.
Oh, bukan bidadari, melainkan murid baru yang sementara ini duduk di sampingnya sebab Adi selama seminggu ke depan izin ada keperluan keluarga. Entah kenapa Alisa begitu bahagia mengetahui Adi tidak berada di sekitarnya meski hanya beberapa hari. Mungkin karena penderitaannya berkurang sedikit.
Hari ini juga hari terakhir festival. Seperti tahun-tahun sebelumnya, hari ini waktunya menujukkan seberapa pandainya setiap kelas membuka lapak dan menarik para pengunjung. Hari ini juga waktunya harapan-harapan diterbangkan meski hanya sebatas formalitas karena harapan akan terwujud jika berdoa dan berusaha.
Gadis yang Alisa ketahui bernama Vanessa itu menaruh sikunya di atas meja Adi untuk menyangga tubuhnya yang miring menghadap Alisa. "Lo diem mulu kayak patung, gue dicuekin," gerutunya. Bibirnya mengerucut sebal membuat wajahnya terlihat imut. "Gue belum tau nama lo btw. Gue Vanessa Aprilia, panggil Sasa aja." Sasa tersenyum manis yang membuat para lelaki klepek-klepek. Ia menyodorkan tangannya yang tadi ia jadikan penyangga tubuhnya. Alisa menyambutnya ragu. "Nama lo?"
Alisa diam sesaat. Kemudian ia melepas tautan tangan mereka untuk mengambil buku komunikasinya di laci. Ia menulis sesaat lalu menyodorkannya pada Sasa. "Alisa Maharani. Maaf, aku tunawicara," tulisnya.
Sasa tertegun sesaat. Ia melirik Alisa yang tersenyum hangat padanya. Bibirnya perlahan melengkungkan senyum tipis. "Sorry, ya. Gue nggak tau," ujarnya pelan. Alisa mengangguk maklum. Mungkin sebentar lagi Sasa akan menjauhinya Seperti yang lain. Atau mungkin malah akan menjadi genk-nya Angel dan Risa, mem-bully-nya.
Alisa mengambil buku komunikasi dan penanya sebelum bangkit dari duduknya. Ia akan melangkah pergi sebelum Sasa ikut bangkit menahan lengannya. "Eh, lo mau ke mana?" tanya Sasa panik. "Lo marah ya?" Alisa menggeleng. "Atau lo sakit hati sama omongan gue?" Alisa kembali menggeleng, berkali-kali malah. Ia menegaskan bahwa ia sama sekali tidak marah atau sakit hati. "Terus kenapa lo ninggalin gue?" Sasa kembali bertanya dengan nada sedih yang membuatnya tambah imut.
Alisa menatapnya bingung. Kenapa Sasa tidak menjauhinya dan malah terkesan tidak ingin ditinggalkan? Apa alasannya karena di kelas hanya ada beberapa orang lelaki dan mereka hanya perempuan berdua? Ya, mungkin itu.
Alisa menulis sesuatu di buku komunikasinya lalu menyodorkannya pada Sasa. "Aku mau lihat-lihat bazar."
"Gue ikut ya? Gue nggak ada temen selain lo," pinta Sasa malah seperti merengek meminta mainan kepada ibunya. Alisa mengerjap sesaat. Teman? Mungkin maksudnya orang yang dikenalnya. Iya, mungkin itu maksud Sasa. Alisa mengangguk diiringi senyum tipis lalu membawa Sasa berkeliling bazar.
*****
"Subhanallah sekali perut karet lo ini," sindir Surya menepuk-nepuk perut rata Vian yang hebatnya bisa menampung seporsi besar bakso, sepiring nasi goreng, semangkok es pisang ijo, dua gelas es campur, segelas pop ice taro, dan segelas es teh yang sekarang masih menyisakan setengah di gelas plastik yang dibawanya berkeliling.
"Namanya juga laper," jawab Vian tak acuh.
"Dia laper habis hinernasi gara-gara konser kemarin. Penggemarnya, kan banyak," timpal Rendy penuh sindiran. Pasalnya saat festival seni dan sastra kemarin, Vian membawakan lima lagu atas permintaan para penggemarnya, padahal masih banyak yang mau tampil menunjukkan bakat mereka. Namun, Vian seolah tuli dipanggil-panggil dari earphone dan malah menuruti kemauan penggemarnya. Alasannya tak ingin mengecewakan. Semoga tidak ada yang mendengar Rendy dan Surya meludah dalam hati.
"Ya, gimana dong? Penyanyi sekelas Shwan Mendes ini nggak bisa menolak permintaan penggemarnya, apalagi cakep-cakep sama mantep-mantep banget body-nya tuh kemaren cewek-ceweknya. Beuh! Semakin semangat, semakin di depan!" Vian berseru heboh sampai gelas plastik dalam genggamannya terlepas.
"Kyaa!!! Ini apaan sih?!" Teriakan heboh itu sukses mengundang perhatian, apalagi Vian yang sedang berhalusinasi seketika kembali ke bumi. Seorang gadis cantik yang belum pernah ditemuinya saat ini sedang menggoyang-goyangkan kakinya dengan ekspresi kesal.
"Wow! Titisan Cleopatra di depan gue, gengs. Rezeki anaknya Pak Sholeh," gumam Vian penuh kekaguman.
"Sejak kapan bapak lo berubah nama jadi Sholeh?" tanya Rendy.
"Sejak negara api menyerang," celetuk Reno geram mendengar berbagai macam kecerewetan teman-temannya itu. Namun, tak ayal matanya ikut melirik objek yang menjadi perhatian teman-temannya, gadis yang memeluk lengan Alisa sambil terus menggoyang-goyangkan sepatunya guna menghilangkan es batu yang masuk ke sela-sela sepatunya.
"Ih, dingin tau! Ini siapa sih kurang ajar banget buang es sembarangan?! Buang duit kek sekali-kali," gerutu gadis itu, Sasa.
Via berlutut di depan Sasa sambil berujar santai, "Bapak gue nggak sesultan itu sampe gue buang-buang duit."
"Eh, mau ngapain lo?! Mau ngintip, kan lo?!" seru Sasa panik. Ia mundur dua langkah sembari menutupi roknya dengan kedua tangannya.
Vian mendongak menatap Sasa. "Katanya dingin, yaudah gue bantuin bersihin," jelasnya tenang. Lelaki itu menampilkan wajah datar untuk menutupi wajah kagumnya. Wajah datar merupakan senjata andalan Aksel dan teman-temannya. "Gue nggak ngintip. Cuma mau tanggung jawab karena kecerobohan gue."
Sasa menatapnya sejenak, kemudian beralih pada Alisa. Yang ditatap bingung harus bagaimana, akhirnya mengangguk walau ragu. Sasa kemudian kembali menatap Vian sembari menyodorkan kakinya. "Yang bersih!"
"Hm." Kemudian Vian dengan serius membersihkan sepatu gadis itu membuat semua orang menatap tak percaya padanya. Alvian yang cuek--meski lebih cuek Reno dan Aksel--mau berlutut di depan seorang gadis yang tak lain adalah seorang murid baru. Padahal kata maaf saja untuk Alvian adalah sesuatu yang tabu.
Surya bergeser sedikit pada Rendy, lalu berbisik, "Vian kayaknya kena love at first sight. Langsung bucin gitu."
"Anjir, geli!" umpat Rendy mendorong Surya menjauh darinya. "Budek kuping gue denger suara lo kayak gitu." Rendy bergidik mengusap-usap telinganya. Surya yang melihatnya langsung menggeplak kepala lelaki itu.
"Lo siapa?" tanya Reno pada Sasa, tapi pandangannya mengarah pada Alisa yang langsung menunduk.
"Lo nanya gue?" Reno mengangguk. Sasa tersenyum kemudian menyodorkan tangannya. "Gue Sasa. Lo?"
Reno hanya diam dan matanya masih menatap Alisa yang terlihat gelisah. "Lo siapanya Alisa?" tanya tanpa menjawab pertanyaan Sasa. Kini ia menatap lawan bicaranya. Meski begitu, tangannya tidak membalas uluran tangan gadis itu, membuat sang empunya tangan sadar diri lalu menurunkan tangannya.
"Temen. Kenapa?" tanya Sasa bingung. Memangnya ia terlihat seperti saudara Alisa? Atau mungkin ia dikira sepupu Alisa oleh lelaki itu?
Semua langsung menatap Sasa, termasuk Vian yang langsung berdiri dan menatapnya aneh. "Temen?" Aksel yang bertanya. Sesekali matanya melirik Alisa yang menatap Sasa.
"Kenapa sih? Kenapa pada kaget kayak abis liat bapaknya Khong Guan joget-joget di kalengnya gitu sih? Apa karena Alisa bisu jadi nggak ada yang temenan sama dia dan lo pada kaget liat gue mau temenan sama dia?" Sasa langsung mengeratkan pelukannya pada lengan Alisa, ia juga semakin menempel pada gadis itu seperti menempel pada gebetan-nya. "Jangan-jangan lo-lo pada suka bully Alisa ya?" tanya Sasa dengan tatapan curiga pada kelima lelaki di depannya yang hanya bergeming.
Sementara Alisa masih mematung menatap Sasa. Teman?
*****
Jumat, 12 Juli 2019
11.26 WIBWith love❤
Miftalutfi
![](https://img.wattpad.com/cover/188731713-288-k416625.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Monokrom
Teen FictionAksel punya hobi yang aneh dan kejam: menindas orang yang lebih lemah darinya, apalagi orang yang terlahir dengan kekurangan fisik. King bullying itu menjadikan Alisa korbannya. Gadis tunawicara yang entah bagaimana dan entah sejak kapan mengambil a...