03. LUKA RAINA

274 71 55
                                    

Selamat Membaca, budayakan sebelum membaca. Follow dulu!

"Sebenarnya, aku tak ingin melibatkan perasaan. Takut kembali dipatahkan oleh keadaan."

🦋🦋

Kupikir, hati itu tak ada pemiliknya. Hati bebas singgah di mana saja, dan dimiliki oleh siapa pun. Lantas, bagaimana jika aku memiliki hatimu? Aku rasa itu tak akan mungkin, sebab aku sendiri masih belum bisa mengeluarkan satu kata pun, saat berada di dekatmu. Untuk membuka mulut saja, rasanya berat dan kaku. Ya, aku tahu jika perasaan yang semakin dipendam, justru akan semakin menyakitkan. Namun, aku berusaha untuk tetap menahan perasaan untuk tak membuatmu kebingungan.

Pagi yang kutunggu sejak semalam, telah mengundang kicau burung yang merdu, dengan kepakan sayapnya yang melambung tinggi diudara. Aku terbangun pukul enam pagi, untuk bergegas ke sekolah bersama ayah—Ferry Hermawan—kepala rumah tangga, yang sudah aku anggap seperti seorang pahlawan, pekerjannya hanya sebatas karyawan swasta, dan tak memiliki pendidikan tinggi seperti kebanyakan ayah di luar sana. Tak masalah bagiku, karena setiap ayah selalu mempunyai cara sendiri, untuk menjadi yang terbaik di depan anaknya. Lalu, aku cium punggung tangan perempuan paruh baya, yang setiap pagi membuatkan sarapan untuk keluarga kecilnya.

"Raina berangkat, ya, Bu," pamitku, tersenyum pada perempuan paruh baya yang memiliki nama Utami Anggreani, persis sepertiku; bedanya, hanya di wajah saja. Kata orang, aku lebih mirip sama ayah, dan kulitku juga tak seputih ibu. Sambil menggendong seorang bayi kecil, ibu selalu bisa melakukan berbagai macam pekerjaan rumah.

Tak ada yang istimewa, saat terduduk di atas jok motor butut milik ayahku. Tak ada yang sempurna juga, karena aku selalu diantar menggunakan kendaraan beroda dua, tak seperti mereka yang mempunyai kendaraan mewah berdoa empat. Dunia luas, tetapi menjadi sempit saat aku mulai mengeluh dengan keadaan, seakan tak pernah bersyukur atas nikmat yang sudah diberikan oleh Allah. Dapat menghirup udara pagi itu pun salah satu kenikmatan, yang harus aku syukuri. Apalagi, jika aku dapat melihatnya di hari pertama masuk sekolah.

Senyuman tak kunjung luruh, selama di perjalanan hingga tiba di depan sebuah gapura. Bunga di dalam hati, tampaknya mulai bermekaran. Pada saat, seorang laki-laki berjalan dari arah kejauhan sembari memegang helm full face di tangannya, jaket kulit hitam semakin menambah kesempurnaan penampilannya. Aku yang sudah turun dari motor, dan akan berjalan masuk justru mematung di gerbang SMP Wiramandala. Tertegun saat sosok itu berjalan tegak, melewatiku begitu saja. Sepatu pdf hitam mengkilat, dan rambut yang disisir rapih, menjadi daya tarik tersendiri darinya. Namun, hanya aku yang kagum dengan sosok itu, tak ada yang memedulikannya berjalan masuk ke halaman sekolah.

"Hallo, Kak Doni!" Suara cempreng dari seorang murid perempuan, mengalihkan pandanganku. Primadona sekolah datang, dengan penuh ketampanannya. Sehingga, beberapa dari murid perempuan menghampiri, hanya untuk berkenalan.

Padahal ada yang lebih sempurna, dari sosok laki-laki tadi. Namun, aku tak terpikat dengan Doni. Pikirku, Doni hanya menumpang nama pada jabatan orang tuanya sebagai kepala sekolah, dan ia selalu memperlihatkan wajah tampannya, untuk menarik perhatian para perempuan. "Raina!" panggil seseorang dari belakang, sehingga aku berbalik saat masih berada di depan gerbang SMP Wiramandala.

"Rain, kenalin dia Sabrina. Ternyata, dia satu kelas sama kita." Aku hanya membalas senyuman, tanpa berjabat tangan. Meski, kemarin sudah perkenalan di Masa Orientasi Siswa. Namun, aku masih belum terlalu paham dengan teman-teman di kelas, beruntung ada Putri yang membuatku langsung dekat dengan teman sekelas.

FIRST LOVE AND LAST [ HIATUS ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang