17. LUKA RAINA

116 31 18
                                    

Selamat Membaca, budayakan sebelum membaca. Follow dulu!

“Percayalah, secepat apa pun hati berpaling. Hati, pasti akan kembali pulang.”

🦋🦋

Pagi di hari Jumat, mengundangku untuk segera pergi ke sekolah. Dengan seragam olahraga, karena akan mengikuti perlombaan di SMA Negeri Sriwijaya. Seluruh kelas sepuluh sudah mempersiapkan segalanya dari; peralatan memasak, bahan makanan dan juga dekorasi kelas. Namun, sebelum itu murid di seluruh kelas melakukan upacara pembukaan, dan berdoa bersama supaya acara perlombaan berjalan dengan lancar. Kemudian, mereka semua pun mengambil meja dan kursi di dalam kelas, untuk diletakkan di lapangan upacara. Sebab, lomba memasak dilakukan di luar ruangan.

Begitu ramai suasana pagi itu di sekolah, halaman pun dipenuh oleh berbagai murid yang ke luar masuk kelas, hanya untuk mempersiapkan segalanya. Supaya dapat memenangkan perlombaan, dan mendapat penghargaan dari kepala sekolah. Namun, berbeda dengan kelasku—hanya para murid perempuan saja, yang repot dan harus mengerjakan semuanya sendiri. Sementara murid laki-laki justru sibuk bermain handphone di kelas. Begitu denganku, yang mulai membawa bahan makanan Ke lapangan upacara, sesuai dengan nomor yang ditentukan dari pihak sekolah. Karena di lapangan, sudah didirikan sebuah tenda yang terbagi menjadi beberapa stand, guna memisahkan kelompok dari setiap kelas.

“Kelas kamu nggak ada yang bawa meja apa, Rain?” tanya Gizca, mendekat.

Disusul dengan gelengan kepala dariku. “Anak cowoknya di kelas semua, main handphone.”

“Yaudah, minta tolong sama anak cowok kelasku aja. Buat bawa meja ke lapangan, masa nggak pake meja. Nanti, makanannya di taruh mana? Terus, buat kompornya gimana?” Perkataan Gizca, membuatku berpikir keras.

Perlombaan itu diadakan, untuk merayakan hari ulang tahun SMA Negeri Sriwijaya yang ke 23 tahun. Sehingga, para guru mengganti jam pelajaran dengan perlombaan seluruh murid. Namun, kali ini hanya murid kelas sepuluh, yang diwajibkan untuk mengikutinya—sebagai nilai tambahan dalam kegiatan Pramuka. Sementara, diantara kebanyakan lomba yang sudah diadakan kemarin, beberapa kelas sebelas dan dua belas pun, telah memenangkannya. Dan, dapat mengalahkan kelas sepuluh dengan begitu mudah, terutama pada lomba basket dan tarik tambang.

“Boleh, tapi minta tolong siapa?” Aku dan Gizca, turut berpikir. Memandang penuh murid laki-laki, yang berada di sekitar.

“Itu ada Budi,” tunjuk Gizca padanya.

“Cie, Budi ....” Dengan senyum lebar, akupun menggoda Gizca.

“Mau dibantu atau nggak?” gertak Gizca, membuat mulutku bungkam. Lantas, ia pun menghampiri Budi dengan tangan yang menarik pergelanganku.

“Budi, tolong ambil meja di kelas sepuluh IPS 2, ya.” Budi mengiyakan perintah dari Gizca dengan begitu mudah, lalu ia mendekati seorang laki-laki berkulit putih yang sedang berdiri di dekat tiang bendera. “Ayo, bantu aku.”

“Ke mana?” tanyanya datar.

“Ambil meja di kelas sepuluh IPS 2.” Budi tetap menarik lengan bajunya, yang dibiarkan menutupi tangan. Berbeda dengan lengan baju Budi, yang disisingkan hingga siku.

“Malah nyuruh Ilshaq,” gumam Gizca, membuat bola mataku membelalak, dan tertuju pada laki-laki pergi bersama Budi ke dalam kelasku.

FIRST LOVE AND LAST [ HIATUS ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang