14. LUKA RAINA

36 7 7
                                    

Selamat Membaca, budayakan sebelum membaca. Follow dulu!

“Jalan satu-satunya yaitu pergi, supaya hati tak terus tersakiti.”

🦋🦋

Luka itu ibaratkan sebuah kuman yang harus dilihat melalui alat Microskop, sebab luka sama sekali tak terlihat, tetapi sangat terasa. Jika luka dapat disembuhkan dengan berbagai jenis obat, mungkin aku tak akan bisa sekuat ini. Luka telah mengajarkanku—dibalik rasa sakit selalu ada rasa sabar; menahan luka diam-diam, bukan berarti lukanya tak dalam.

Kini, aku berada pada perhitungan dilema. Ketika aku mendapatkan pesan masuk dari dia, dan membaca kalimat yang teramat sakral bagi diriku. Sebab, tak pernah ada seorang pun laki-laki yang mengungkapkan perasaannya lebih dulu kepadaku. Justru, aku yang selalu menyimpan perasaan terhadap laki-laki yang kusuka. Ungkapan itu hanya mengindahkan layar handphone-ku saja, tanpa ada balasan satu kata pun dariku.

Perasaanku buncah, saat notifikasi pesan masuk kembali aku dapatkan. Namun, kali ini bukan dari dia, melainkan dari laki-laki lain yang juga mengenalku, melewati temannya—yang dulu satu sekolah denganku. Kalimat tanya telah aku baca, hingga tanpa sadar ibu jari ini menyusun beberapa kata, sebagai jawaban.

“Lagi duduk,” tulisku begitu.

“Sendiri?”

“Mau aku temani?”

Dua kalimat tanya, tertuju padaku melewati chat pribadi itu. Namun, aku hanya membalas satu kata saja, yaitu ‘nggak.’

Tiba-tiba, pesan masuk dari dia membuatku tersentak, hingga jantungku berdegup begitu cepat. “Kok cuman di baca aja, kamu mau nggak pacaran sama aku? ‘Kan kita udah lebih dari satu Minggu kenal, dan udah sekali ketemu juga. Jadi, apa salahnya kalo kita pacaran?”

Batinku mengelak, pikiranku mulai menolak tawaran itu. Bukannya aku belagu, atau sombong karena enggan berpacaran, padahal dulu aku sangat berharap bisa memiliki seorang laki-laki yang aku inginkan. Namun, kini kenyataan telah bertolak belakang, dengan pemikiranku. “Maaf, aku nggak mau karena pacaran itu dosa.” Aku membalasnya dengan sebuah ketukan tajam, dan hanya mendapat dua centang biru dari dia.

Untuk menghilangkan perasaan yang sudah berkecamuk hebat, dan pikiran-pikiran kacau yang tengah bergelut. Aku pun mengalihkan kebosanan saat di rumah, dengan bermain sebuah game online dari handphone. Begitu banyak permainan, yang sudah menghilangkan kebosananku. Hingga, aku tak sadar sudah satu jam lebih, aku menghabiskan waktu di kamar.

“Raina, kamu belum makan dari pulang sekolah?” tanya Ibu.

Aku hanya menyeringai senyuman. Lantas, meletakkan handphone di atas meja belajar, dan bergegas ke luar kamar. Piring yang tadinya penuh dengan nasi, dan juga lauk sudah kulahap hingga kosong—tak meninggalkan sisa sedikit pun. Dengan langkah tergesa-gesa, aku memasuki kamar kembali. Mengambil handphone, dan duduk di tepi tempat tidur.

Aku terbelalak, melihat begitu banyak notifikasi dari game online itu. Ternyata, sebuah pesan dari seseorang yang sempat bermain game online bersamaku. “Ayo, main lagi. Dari tadi kamu menang terus, kayanya jago banget mainnya.”

Bagaimana aku tak terkekeh, saat membaca pesan itu? Sebab, aku pun tak menyangka, jika aku dapat memainkan permainan sebegitu hebatnya, hingga memenangkan permainan beberapa kali. Dan, itu disetiap masing-masing permainan yang ada di game online. Sehingga, aku pun membalas pesan dari seseorang, yang tak aku kenal.

FIRST LOVE AND LAST [ HIATUS ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang