01. LUKA RAINA

569 106 175
                                    

Selamat Membaca, budayakan sebelum membaca. Follow dulu!

"Tentangku, yang penuh lika-liku."

🦋🦋

Sebagai manusia, pasti akan melewati tiga fase percintaan dalam hidup; cinta pertama yang dianggap sebagai cinta monyet, cinta yang akan membuat perasaan hancur, dan cinta yang dapat menyembuhkan semua luka. Seperti perjalanan cintaku kali ini, yang harus melibatkan perasaan serta pemikiran, dalam menaruh rasa. Bahkan, untuk mencintai seseorang aku tak membutuhkan banyak waktu, hanya satu detik saja aku bisa jatuh cinta, tapi untuk melupakannya butuh jutaan detik.

Aku sangat suka hujan, ketertarikanku pada Hujan seperti sedang dimabuk asmara; sangat menggila. Aku sangat mudah jatuh cinta, tapi mudah juga untuk patah dan terluka. Kebanyakan dari mereka, memanggilku dengan sebutan 'Rain' padahal namaku, Raina Farasya Anggreani kelahiran 25 Mei 2003 di Jakarta Timur. Tak banyak yang mengenalku, sebab aku pun tak suka berkenalan dengan orang asing. Namun, aku mudah beradaptasi dalam lingkungan baru, meski itu butuh waktu cukup lama; sama seperti saat, aku merasakan patah hati untuk pertama kalinya.

Kisah dimulai, ketika aku harus dilarikan ke rumah sakit karena penyakit typus, yang sudah membuatku lemah dan kehilangan cairan di dalam tubuh. Aku tak bisa melakukan apa pun, selain terbaring di atas ranjang sembari belajar. Bahkan, aku harus mengikuti ujian kelulusan seorang diri setelah sembuh. Begitu dengan waktu yang mulai berubah, selayaknya perasaan yang aku rasakan di hari kelulusan. Aku sangat menyayangkan harus lulus, tanpa mengukir kenangan indah bersama teman-teman di sekolah dasar. Atas penyakit yang entah sejak kapan muncul, hingga aku lebih menghabiskan waktu akhir semester di rumah sakit.

Namun, kesembuhanku telah membawa penderitaan menuju jalan yang lebih baik ke depan. Meski, beribu harapan tak kunjung menjadi kenyataan, aku tetap berusaha untuk bisa melanjutkan pendidikan. Ya, saat itu aku tak bisa seperti mereka; yang berhasil meraih impian, yang masuk ke sekolah favorit sesuai dengan harapan. Aku tertegun, pada saat aku harus memilih jalan terakhir setelah jalan utama tertutup oleh tembok besar. Satu-satunya jalan, yang mungkin akan bisa mengubah masa depan. Pikirku, tak masalah jika harus bersekolah di manapun, yang terpenting aku masih bisa belajar, bertemu teman, dan melanjutkan pendidikan. Meski, aku sudah banyak berkorban dan berusaha untuk bisa memasuki jalan utama, tetapi ternyata masih ada jalan untuk menggapai impian walaupun jalannya tak sama.

SMP Wiramandala, salah satu sekolah swasta yang tak pernah ada di pikiranku. Namun, aku justru menjadi murid baru di sekolah itu, bukan karena nilaiku yang buruk atau tak ada prestasi, tetapi karena alur kehidupan yang membawaku ke tempat itu, supaya aku bisa mengawali cerita ini. Banyak orang berpikir, bahwa sekolah swasta itu tak seunggul sekolah negeri, tak sebaik sekolah lain, dan biayanya pun sangat mahal. Namun, jika dipikir lagi sekolah swasta pun memiliki karakteristiknya sendiri, dengan visi misi yang sedikit berbeda. Karena sekolah itu, khusus untuk pelajar yang beragama Islam. Bagiku itu salah satu keunggulan yang dimiliki, oleh sekolah swasta. Namun, tak kebanyakan sekolah swasta memiliki visi misi yang sama, dan hanya menampung pelajar yang beragama Islam saja.

Siang itu, begitu terik. Matahari tak segan-segan berdiri tepat di atas kepala, bahkan saat aku mendongak ke atas—langit tampak sangat cerah. Hingga, aku harus memicingkan mata untuk melihat warna birunya—padahal, aku sangat berharap siang itu hujan deras. Ya, supaya tak ada Masa Orientasi Siswa seperti ini. Pandanganku menyisir penuh halaman sekolah, yang menjadi tempat berkumpulnya murid baru. Aku terkekeh ringan, setelah melihat seluruh perempuan di sekelilingku menggunakan hijab, dan auratnya tertutup begitu rapat—sama sepertiku saat ini, yang kerudung putihnya menjulur hingga ke perut. Sepasang kaki aku gerakan berulang kali, terasa pegal karena harus berdiri tegak di dalam barisan, dengan pot bunga berukuran besar di depanku. Seluruh murid baru pun begitu, membawa pot bunga dari rumah masing-masing, dengan ikat kepala yang berwarna merah putih, dan juga kardus yang tergantung di leher dengan tulisan 'Murid SMP Wiramandala.'

FIRST LOVE AND LAST [ HIATUS ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang