10. LUKA RAINA

134 39 19
                                    

Selamat Membaca, budayakan sebelum membaca. Follow dulu!

"Menangis adalah salah satu cara untuk bisa mengungkapkan segala rasa kecewa."

🦋🦋

"Kenzo, tapi biasanya di panggil Ken. Waktu kelas tujuh, aku sekelas sama dia," jawabnya. Lantas, dia pun balik bertanya, "Kenapa emangnya?"

"Gakpapa, aneh aja mukanya. Banyak jerawatnya, jelek banget," ejekku kejam, tetapi itulah penglihatanku saat pertama kali bertemu dengannya; laki-laki yang bernama Kenzo—teman sekelasku.

"Ya, namanya juga masa pubertas pasti jerawatan. Nanti kalo udah nggak ada jerawatnya, kamu pasti suka. Mukanya lumayan ganteng, putih, dan dia juga pintar matematika."

Hari kedua berada di kelas delapan, yang telah menjadi saksi bisu atas perjalanan cintaku. Entah untuk yang ke berapa kali, aku membuka hati dan susah untuk menutupnya lagi. "Rain, tunggu!" Aku menghentikan langkah, tepat di depan gerbang SMP Wiramandala.

"Bareng ke kelasnya, ya," ujarnya—yang menjadi teman sebangkuku saat ini. Aku mengangguk, lantas menggandeng tangannya untuk masuk ke kelas bersama. Namun, setibanya di depan kelas langkah kita berdua dihentikan, oleh seorang murid laki-laki yang setiap pagi menjaga pintu kelas delapan itu.

"Kalo mau masuk kelas, kasih gue uang dulu."

"Buat apa?" tanya temanku itu.

"Ya, buat jajan nanti. Tadi pagi gue juga nggak sarapan, jadi gue minta uang lima ribu!" pintanya, sembari menyodorkan telapak tangan.

Namanya, Arsatya Revansyah—tukang malak di kelas, dan selalu meminjam uang kas kelas dari bendahara, dengan alasan belum sempat makan di rumah. "Kalian berdua mau gue pingsan waktu upacara nanti?" Pertanyaan dari Revan, membuat temanku itu kasihan padanya. Sehingga, dia memberikan selembar uang. "Kamu kenapa sih, mau kasih Revan uang? Kemarin dia juga udah minta uang dua ribu ke kamu 'kan, sekarang malah tambah jadi lima ribu," ujarku sambil melangkah masuk bersamanya, setelah Revan mengizinkan.

"Ya, gakpapa. Kasihan aja, dia belum sarapan di rumah. Lagian nanti upacara, aku nggak mau dia pingsan dan merepotkan banyak orang di sekolah."

Aku kembali bertanya, "Apa kamu suka sama Revan?"

"Memangnya kelihatan banget, ya, kalo aku suka sama Revan?" tanyanya balik. Kemudian, aku mengangguk. "Iya, ketahuan deh," lanjutnya, kali ini membuatku terbelalak.

"Jadi, kamu beneran suka sama Revan?" ulangku, supaya jelas.

"Iya, aku suka sama Revan. Tapi, tolong jangan kasih tau siapa-siapa, ya." Namun, aku hanya tersenyum ketika mendengar pernyataan bahagia itu, dari teman baruku.

Hari Senin, telah mengumpulkan seluruh murid SMP Wiramandala untuk melaksanakan upacara bendera di lapangan. "Perasaan tadi di rumah aku udah masukin topi ke tas, tapi kok nggak ada, ya." Aku terus mencari topi upacara, yang tak kunjung aku temukan.

"Rain, ayo yang lain udah kumpul di lapangan," ajaknya, membuatku berlalu pergi meninggalkan kelas tanpa sebuah topi di kepala.

"Topi aku hilang, kamu baris di depan aja." Aku menyuruh temanku itu, untuk menempati barisan bagian depan, sementara aku mundur ke belakang. Sebab, tak memakai topi selama upacara berlangsung—bersebelahan dengan barisan laki-laki. Namun, tiba-tiba seorang murid laki-laki mensejajarkan diri di sampingku, dia melepas topinya dan menyodorkan topi itu kepadaku.

FIRST LOVE AND LAST [ HIATUS ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang