18. LUKA RAINA

74 24 32
                                    

Selamat Membaca, budayakan sebelum membaca. Follow dulu!

"Tak selamanya sikap dingin itu membekukan, kadang sikap dingin itulah bisa jadi yang meluluhkan, bahkan mungkin bisa menumbuhkan rasa cinta."

🦋🦋

Pada dasarnya, mencintai dan dicintai itu sesuatu hal yang sama. Meski akhirnya tak bersama, tetapi kita pernah saling menyimpan rasa yang cukup lama. Dia laki-laki yang kulihat kala di ruang perpustakaan, dia yang berhasil mencuri detak jantungku, dan dia yang kusebut sebagai kuda laut—memiliki nama lengkap, Alfareez Ilshaq Ataqi—raut wajahnya yang selalu datar, dingin dan tak pernah tersenyum, begitu mirip dengan seekor kuda laut di dasar lautan. Kuda laut, yang tak banyak memiliki teman, tak banyak bertingkah, dan punggungnya yang tak kekar, tetapi dapat berjalan tegak.

Bisakah, kuda laut aku temukan di laut yang dangkal? Atau, aku harus lebih dulu menyelami lautan, agar setiap hari dapat melihat kuda laut? Namun, ternyata aku tak perlu menuju ke lautan, menyelami air yang tenang itu hanya untuk bertemu dengan kuda laut. Sebab, kuda laut yang selalu datang dengan sendirinya, mengindahkan pandanganku setiap saat. Sehingga, hari-hari di sekolah tak melulu tentang pelajaran, yang terus membabi buta pikiran, tetapi juga tentang dia yang mulai berteduh pada sebuah perasaan.

Aku tak mendekat, tak pula berharap; untuk dapat memilikinya. Terkadang, perasaan tak seharusnya diutarakan, tetapi juga perlu disimpan. Dan, permasalahan hati yang mencintai—seluruh dunia tak perlu mengetahuinya, karena mencintai seseorang itu manusiawi, tetapi tak harus menjadi topik duniawi. Begini saja, rasanya sudah cukup. Meski harus berjarak, aku masih bisa memandangnya dari jauh, mengamatinya dengan perasaan penuh. Tanpa harapan, tanpa hubungan, dan tanpa kekecewaan. Menjadi pengagum rahasia, memang tampak melelahkan. Namun, pengagum rahasia pun mempunyai misi—untuk menjaga hati, dari kejauhan. Tak perlu pendekatan, apalagi status pacaran untuk merealisasikan hati yang tengah jatuh.

Pagi itu, aku mengulas senyuman tipis. Ketika suara dari sepasang kaki yang menaiki anak tangga, kudengar samar-samar. Aku menepi pada pertengahan anak tangga, ketika kuda laut yang kutunggu kedatangannya pun berjalan di sisiku, dengan kaki jenjangnya dan langkah cepat dalam menaiki anak tangga. Kuda laut melewatiku begitu saja, memperlihatkan kerangka tulang belakangnya yang terbelah dua dan siluet garis yang tak simetris. Kuda laut mencuri pandangan, ketika bersejajar denganku di anak tangga. Lalu, mempercepat langkahnya—seakan, kuda laut tak nyaman berada di dekatku lebih lama. Ya, sebelumnya kuda laut sudah mengetahui pertemananku dengan Gizca, bahkan ia pun sudah memberikan nomor teleponnya padaku; nomor telepon, yang Gizca ambil dari grup chat kelas.

Sementara, ruang kelasku sudah berpindah di lantai atas. Seusainya ujian kenaikan kelas, aku pun sudah menduduki bangku kelas sebelas, dengan teman-teman yang masih sama seperti di kelas sepuluh. Perlahan, waktu berlalu begitu cepat bukan? Begitu denganku, yang mulai tertarik pada sang kuda laut, tanpa alasan. Tak seperti dulu, menyukai seseorang selalu berdasarkan dengan sebuah alasan; sederhana, tampan, istimewa, atau karena kenyamanan. Semua itu, tak aku dapatkan dari kuda laut, apakah aku sudah memasuki fase percintaan yang ketiga? Cinta yang akan menyembuhkan luka, setelah cinta membuat semuanya hancur; termasuk dengan perasaan. Bagaimana jika benar? Bagaimana jika, aku mulai terperangkap pada ruang ilusi cintanya.

"Rain, gimana? Udah di chat?" tanya Gizca, saat istirahat.

"Chat apa?" tanyaku balik, seraya memakan roti bersama Gizca di kantin.

"Ya, chat Ilshaq. Aku 'kan udah kasih nomor teleponnya ke kamu, jadi kamu harus sat set, sebelum diambil orang."

Aku tersenyum, memandang Gizca heran. "Aku ini cewek, buat apa aku deketin cowok duluan? Lagian, aku juga masih takut."

FIRST LOVE AND LAST [ HIATUS ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang