Kepada Candu, kiranya pagi ini aku masih terjaga, padahal semalaman aku bergelut dengan keyboard dan layar laptop-ku. Kopi dan rokok juga ikut menghabisi babak-babak tadi malam. Aku terus menulis agar aku bisa belajar menjadi sastrawan, atau cukup jadi penulis saja. Namun rupanya pagi datang terlalu cepat. Dan rasa kantukku tak kunjung tiba. Seperti halnya kemarin, juga dua, tiga hari yang lalu. Ketika malam itu aku meninggalkan rumahmu. Ketika malam itu keningku berkerut atas apa-apa yang menimpamu tiada duga. Setibanya aku di tempat tidurku. Aku hanya terbaring memandang lelangit kamarku. Di sana, kalimat-kalimat yang mestinya aku sampaikan padamu tertera. Seolah merayapi segala yang ada di sini. Kalimat-kalimat itu enggan terkatakan, enggan menjadi sas-sus, namun kiranya, ia yang paling menyakiti. Yang paling menghunjam dan meradang, untuk selalu aku simpan selama ini.
Ketahuilah Candu, semalaman itu, aku menulis banyak perihalmu. Meski baru berlalu sepuluh atau duapuluh paragraf, kemudian aku hapus kembali, dan meneruskannya menjadi tigapuluh hingga empatpuluh paragraf, kamu yang melebur jadi kata-kata itu seolah bernyawa. Tak lain bahwa aku ingin kamu hidup selama-lamanya. Hingga bahkan ragamu tak ada di semesta ini, aku ingin kamu tetap hidup melalui puisi-puisiku, lagu-laguku, bahkan kisah-kisah yang aku tulis nanti, karena aku begitu mencintai segala apa yang melekat padamu, Candu.
Hari ini, detik ini, mungkin aku bukan bagian yang paling penting dari hidupmu. Bahkan kamu pun belum mengetahui, seperti apa renjana, atau hibat, atau yang orang biasa namai cinta, ternyata bergulir berhari-hari, berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan, menghujami isi kepalaku dengan namamu dan sikap tingkahmu. Lama sekali aku petimatikan renjana ini, dan baru aku katakan sambil mabuk saat itu. Dengan kondisi yang tak pantas dan memang kurangajar. Begitu tiba-tiba. Begitu memalukan. Maaf Candu, kamu ‘kan tahu, aku ini bukan lelaki pecinta yang ulung. Lihat saja, aku tak berani mengatakan semuanya padamu. Hanya epistolari dan surat-surat seperti ini yang aku tujukkan padamu. Bahkan mengganti namamu menjadi Candu. Aku memang bukan lelaki pandai bercakap seperti yang orang katakan.
Lihatlah, saat ini, banyak mereka yang terus mengendus kakimu. Bahkan aku tak tahu siapa yang menjadi pangeran berkuda di sudut fairytale isi kepalamu. Aku juga tak tahu, masalalu yang paling kamu hindari itu mungkin juga ia yang paling kamu harapkan. Ah! Sedikitpun aku tak peduli. Entah nanti aku terbakar tinggal rangka, atau terhujam hujan jadi lumpur, atau bahkan terlempar jadi peluru, suatu hari nanti, aku akan bertanya; “maukah kamu jadi tulang rusukku?” Karena nanti, jika aku telah mampu ‘berdiri’ dan kamu masih sendiri, aku akan memintamu menjadi wanita paling istimewa di hidupku sampai kita beruban. Karena dengan atau tanpa puisi, aku akan selalu mencintaimu, Candu. Aku akan selalu mencintaimu. Sungguh.
Tertanda,
Aku
