Kau menangis, Langit?
Titik-titik air meleleh dari awanmu,
Menghunjam tanah Oktober itu,
Seolah menyalahkan Bumi,
Padahal semalam hujan itu menggantung di mataku,
Petirnya membelah jantung,
Menampar kesombongan manusia satu ini,
Seperti ingin berlari dan berteriak menembusmu, Langit.
Supaya penghuni di balikmu mendengar,
Bahwa aku meronta,
Tersakiti menunduki manusia terbaikku,
Sendiri bersama senyap. Aku tak setangguh yang 'ku kira,
Berdiri gemetar menahan kecamuk dan deru,
Sekelibat kegelapan merangkul dari belakang,
Mencekik tegaknya diriku.
Kau merenung, Angin?
Kau berhembus begitu pelan dan lembut,
Seperti mengusap mataku yang tengah menangis,
Seolah mengasihi diriku,
Semalam dingin itu menusuk tulangku,
Membungkam kekuatan manusia satu ini,
Seperti ingin ikut berlalu bersamamu pergi,
Gontai digusur ke manapun kau mau,
Laut-Nya, hutan-Nya, atau gunung-Nya,
Melempar pandangan sejauh mungkin,
Tak ingin menyaksi. Tapi kata-Nya itu mesti,
Karena aku adalah bagian dari ceritanya,
Kata-Nya itu harus,
Biar ceritanya berceceran.
Tuhan:
Saat itu,
Aku berada di sampingnya,
Ketika Engkau mengajaknya pulang,
Hanya aku di sana,
Tanpa siapa, atau apa, atau mengapa. Aku ingin saling berebut dengan-Mu dan lupa bahwa nyatanya dia milik-Mu.
Aku juga ingin menyusuri alam yang Engkau rahasiakan,
Tapi rupanya aku paham,
Betapa kau adalah Maha Perencana segala kebaikan juga Penolong.
Kasih:
Semuanya disambar seperti elang memburu ikan,
Ia datang tanpa permisi dan tanpa mengetuk pintu,
Membawamu pergi tanpa pamit dan meninggalkan kisahmu yang hebat,
Aku tak sempat mengucapkan selamat tinggal atau selamat jalan untukmu,Sayangnya, 'ikhlas' itu teori,
'Rela' itu seperti berhati batu,
Namun perjalanan adalah perjalanan,
Meski aku harus melolong.
Mungkin kau terlambat menghadiri kedatanganku di bumi,Tapi aku berada di sana tepat ketika kau meninggalkan bumi,
Aku benar-benar berada di sana dan menangis,
Aku berada di sana sendiri,
Menyaksikan nafas terakhirmu,
Tanpa pamit, tidak seperti sebelum aku bertualang,
Tanpa melambaikan tangan, tidak seperti sebelum aku menyusuri perjalananku,
Tapi aku akan selalu menjadi bagian ceritamu, Kasih.
Tapi kali ini mungkin kita berpisah,
Tanpa jarak, juga tanpa waktu.
Kasih, titip salam untuk Tuhan.
Tuhan, aku mohon titip Kasih..
Baru saja aku ditampar 'Kehidupan'. Saat itu, hujan seperti berbisik bahwa hanya aku yang mesti melihat kepergiannya. Aku menangis sejadinya, tapi itu bukan karena kepulangannya. Bukan! Untuk kepergiannya, tentu saja aku sangat mengerti, bahwa ia telah berada di tempat yang lebih baik daripada tempat yang aku pijak sekarang ini. Tapi aku menangis karena ia tidak berpamitan terlebih dahulu. Sayangnya, menyesal itu memang tak berguna.
Dan lambaian itu lumrah di dermaga,
Tapi tidak untuk kita,
Saat kapal hendak berlayar, Menuju laut lepas,Tempat badai dan angin terkadang marah,
Lalu, di sana juga ada sekumpulan burung kuntul,
Atau ikan, atau pulau-pulau,
Entahlah apa yang mungkin engkau temui nanti di sana.Sudah lama memang,
Aku bosan dengan kesia-siaan,
Maka kuputuskan untuk terus berjalan,
Yang tanpa mengucapkan selamat tinggal ini.Selamat jalan, ya, selamat jalan,
Meski banyak yang ingin aku katakan,
Tentang buritan atau sekedar angin malam,
Biar aku simpan jadi doa yang diam-diam.Atas semua tentang itu, saat itu, di tempat itu.
Katamu,
"Aku hanya hidup sekali, begitu juga kamu. Tapi sangat disayangkan jika hidup ini mesti bergumul dengan jam baku, aturan-aturan, dan cinta yang abstrak. Terlebih aku yang tidak dilahirkan dengan sebuah akar melainkan kaki, begitu juga kamu, mesti terpaku di satu tempat seperti pohon kecil di dalam potnya. Maka, aku ingin menapaki dunia. Hingga titik yang terjauh sampai aku kembali ke Titik Nol."Aku menganut percaya itu.
.
Aku harap, aku bisa mengawalinya dengan baik. Sebagai manusia yang memeras keringat, kemudian mencari tempat untuk berlabuh. Tentunya doa-doa menjadi perantara langkah-langkahku. Biar aku tancapkan nisan tentang 2013-2019. Karena aku telah habis dibantai hingga babak-belur. Setidaknya aku belum mati setelah disiksa habis-habisan, Dan itu semua tidak membuatku gila!Kini, hampir seperempat abad aku jadi manusia. Dan belum satu pun yang aku selesaikan. Baik mimpi-mimpiku, maupun arogansi positif-ku. Mimpi masih dalam kotaknya, dan aku masih menjadi manusia yang belum utuh. Masih mentah!
Karma sudah kulalui. Mulut besarku, sikap burukku, dan sikap malasku, aku tidak dihukum oleh semua itu. Justru sikap-sikap itu yang menghukumku. Mengiris-iris tubuhku, hatiku, jantungku, bahkan jiwaku. Aku hancur berkeping-keping dibuatnya. Ya, aku melebur. Musnah!
.
Untukku, untukmu, dan untuknya.
Izinkan kumulai semua..
Aku mencintaimu wahai bahasa dan bahaya
kepadamu tuan kelindannya
sungguh tubuhmu nyaring penanda; Hey! pikiranku tanah yang merdeka.
pikiranmu hening rimba, letak tubuh-tubuh berjalan menemukan mata air
atau tergelincirKelak aku pulang ke segala rumah
membawa ransel berisi fitrah
Kutularkan amarahku
memulihkan amarahmuJika pintu tak juga berbunyi
di luar aku mati berani.
.Arief Rizki, 2019.