Adik, kakak, mama, pace su tra tahu lagi berharap pada siapa, negara, atau apa. Kami tra membayangkan bagaimana sabarnya adik punya telinga, kakak punya hati, mama punya mata, pace punya rasa, dikata-katai monyet. Korang berhak untuk rasa aman di negeri sendiri.
.
Masing-masing merasa bertindak benar. Dan jika sudah sampai di titik ini, yang terjadi adalah menutup mata dan telinga lalu tak mau mendengar juga memahami pendapat-pendapat yang di luar kepala. Kita kehilangan budaya asli kita "Musyawarah". Kita kehilangan Indonesia.
.
Lalu, Papua marah. Kita marah. Anehnya, kita memarahi yang mencaci saudara kita dengan cacian pula. Tanpa mau mendengar, tanpa mau melihat. Begitulah seterusnya. Seolah pertikaian di negeri ini mengantri untuk mengemuka. Dari bela agama, bela capres juara, bela ulama, bela papua. Dari satu ke satu yang lain, begitulah seterusnya. Tanpa lelah, tanpa resah, seolah tenaga kita memang di sediakan untuk bertikai. Kita tak sadar bahwa tingkat kebaikan di negeri ini sedang terjun bebas menuju dasar. Pokoknya pendapat kita bersifat mutlak dan anti-dialog.
.
Papua tak butuh negara, negaralah yang butuh Papua. Mereka tidur di atas emas, berenang di limpahan minyak. Suka rela membiarkan buminya di keruk untuk kita. Ironisnya, kita selalu memandang mereka terbelakang, membuat mereka tak nyaman dengan tindakan-tindakan rasis.
.
Angkat kepala pace! Angkat kepalamu saudara! Genggam erat tangan kami.