MEREKA bilang kamu adalah kopi yang kamu pesan. Tapi saya bilang, kamu adalah bagaimana kamu berinteraksi di kedai kopi. Manusia yang banyak kurang dan suka berlebihan ini memang menarik untuk diperhatikan. Selain untuk minum kopi, tujuan saya ke kedai kopi adalah sebagai penonton. Menikmati pertunjukan di coffee bar dan menikmati lakon manusia lain yang berinteraksi di sana. Rupa-rupa memang. Seringnya menyenangkan tapi tak jarang sebal juga.
Kedai kopi adalah semesta kecil yang membentuk komunalnya sendiri. Maka saya percaya bahwa setiap kedai kopi memiliki pasar dan pengunjung yang berbeda-beda. Pengunjung di kedai kopi yang ini takkan pernah sama tabiatnya dengan pengopi di kedai kopi yang sana. Ada kedai, ada ragam pengunjungnya. Sedangkan saya, si manusia mana saja ini sungguh sangat menikmati fenomena ini.
Jika dulu teman-teman seperkopian pernah berkata bahwa kita adalah apa yang kita pesan di kedai kopi. Maka saya tak bisa lagi setuju dengan kalimat itu. Karena kelakuan kita di kedai kopi adalah cermin yang paling jelas. Apakah kita pengunjung yang angkuh. Yang memandang barista dan pelayan sebagai makhluk lebih rendah meski kita sudah memesan kopi-kopi mahal.
Ataukah kita si anak baru yang memesan ke coffee bar dengan malu-malu dan dipandang sebelah mata oleh barista tangguh sang juara kompetisi? Pun bisa jadi kita adalah pengunjung riuh. Yang menganggap kedai kopi adalah rumah sendiri. Tertawa nyaring tanpa peduli bahwa ada orang lain yang juga ingin damai di sana. Atau bisa jadi kita adalah si penyendiri yang ditemani laptop atau sekadar datang menjadi pemerhati?
Kalimat ini mungkin tidak berfaedah bagi siapapun yang menganggap kedai kopi adalah sekadar tempat transaksi jual beli. Kopi adalah media yang memuaskan satu sisi dan menguntungkan sisi lain. Tapi untuk beberapa kelompok kecil (untuk tidak menyebutkan diri sendiri), kopi adalah ruang dan kedai kopi adalah rahim tempat anak-anak ide lahir atau pengalaman-pengalaman lucu tumpah. Ya, menonton manusia adalah salah satunya.
Kedai kopi adalah layar tancap. Jika kamu mau bercerai sebentar saja dengan telepon genggam pintarmu. Bukan begitu?
.
Arief Rizki, 2019.