Kissingable

4K 259 6
                                    

Di tempat lain Angga sedang kebingungan mencari Viola. Ia berlari kesana kemari, membuka semua pintu-pintu yang tertutup. Bahkan tuxedo yang rapi kini tiada lagi. Kancing-kancing dan kemeja dalam sudah berantakan. Semua sudut sudah ia telusuri. Nafasnya tersengal, fikiran buruk sudah membuatnya hampir gila. Ia tau, papinya bisa melakukan apapun pada siapapun. Tiga puluh menit ia kehilangan Viola. Ia menuju ruangan yang tinggal satu-satunya yang belum ia sisir.

Pintu ruangan itu terkunci. Ia semakin yakin jika Viola di dalam. Ia mendobrak, menemukan Viola dengan uraian air mata. Emosi Angga menggunung, melihat sekeliling. Viola seperti pesakitan yang melakukan sebuah kesalahan besar. Berdiri sendiri di tengah, sedang sang papi menjadi seorang hakim duduk manis di hadapan Viola. Yang lain hanya berdiri memastikan menjaga agar Viola tak dapat pergi dari sana.

Beberapa orang kekar menghadang Angga mendekati Viola. Angga pun berusaha melawan. "Demi apapun, gue ngga akan biarin lu, menyakiti Viola." Anak ini sedang bicara dengan bapaknya.

Viola masih tetap di tempatnya. Air matanya semakin deras, ia tak tau jika kasus Angga serumit ini. Seorang wanita dengan dandanan mentereng datang dan menampar pipi Viola. Angga melihat adegan itu dan membuatnya kalap. Wanita itu adalah ibu dari pengantin wanita yang Angga sebut adik. Setelah bersikeras melewati tiga orang berbadan kekar, Angga lolos dari mereka. Mendekati Viola, menggenggam tangan Viola yang sedingin es. Angga yakin Viola sedang dalam ketakutan.

"Aku udah bilang, jangan kemana-mana." Angga mengangkat dagu Viola yang sedari tadi hanya menunduk. Menghapus air mata yang ia yakin ini akibat dari perbuatan orang tuanya. Bahkan tanda merah di pipi semakin membuat hatinya sakit. Ada sedikit darah di ujung bibir Viola. Angga lemah, kemarahannya hilang entah kemana, puncak emosi yang sudah di ujung tanduk kalah dengan hati yang terasa nyeri entah karena apa.

Angga memeluk erat Viola. Mendekap wanita yang selama ini menjadi sahabat terbaiknya.

"Kita pulang ya." Itu yang mampu ia ucap. Pergi dari sini adalah hal terbaik. Ia tak menuruti emosi, bukan diri pribadi, tapi keselamatan Viola lebih penting, sekali lagi ia harus ingat, papinya bisa melakukan apapun pada siapapun.

Viola meremas tuxedo yang Angga kenakan. Sepertinya Viola benar-benar sedang ketakutan. Angga sama sekali tak bisa membayangkan apa yang terjadi di dalam ruangan tadi sebelum ia datang.

Ketika mereka hendak beranjak dari sana, suara seseorang menghentikan.
"Tunggu." Angga berhenti menurut. Bukan karena ia patuh, ia hanya ingin Viola selamat.
"Kenapa kamu menjatuhkan harga diri papi dengan membawa wanita ini kemari?"

Rahang Angga mengeras. Genggaman tangannya pada Viola pun mengerat.
Tapi ia tak ada niat menjawab.

"Jangan keluar dari sini sebelum acara usai, dimana harga diri keluarga kita akan kamu taruh?" Lanjut papinya.

"Anggap saja gue bukan bagian dari keluarga ini." Jawab Angga.

"Put, jangan main-main. Kami sudah cukup menanggung malu kamu kerja di tempat seperti itu, bahkan jika kamu mau, papi bisa beli perusahaan yang kamu saat ini tempati."

"Gue ngga sedikitpun menyesal keluar dari rumah, gue nyaman kerja keras di Perusahaan kecil itu, karena disana gue punya Viola." Entah sejak kapan Angga jadi setidak sopan ini.

"Tari bahkan nunggu kamu sampai hari ini sebelum naik pelaminan, dan kamu datang membawa wanita yang bukan siapa-siapa ini." Suara papinya masih menginterupsi.

"Siapa bilang dia bukan siapa-siapa? Dia calon istri Angga." Tangan Angga merangkul pundak Viola. "Jika ada wanita yang lebih baik dari dia, Angga akan nikahi, tapi selama ini Viola yang terbaik menurut Angga. Dan Angga tidak perlu restu dari kalian semua, gue sama sekali tidak peduli." Angga membawa Viola pergi dari ruangan itu. Ia bertemu Nadia dan Dave di dekat pintu toilet.

KubikelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang