Kamu

3.3K 208 2
                                    

Berderaian air mata Viola. Tangisan tanpa suara, berusaha tak terisak agar terlihat tegar, justru membuatnya semakin terlihat hancur. Setiap kata yang ia ucap di iringi dengan tetesan air duka. Bahkan dalam beberapa bulan ia di tinggalkan dengan dua orang yang sangat ia cintai. Pengkhianatan Vano padanya belum hilang dari ingatan. Dan kini ia di campakkan oleh orang yang mengobati lukanya.

Tak sanggup lagi, Viola ambruk melemas, kesadarannya masih utuh, tetapi ia terlihat sangat lemah, lunglai seperti tak bertulang. Dave menangkapnya. Angga memalingkan muka. Tak ingin melihat apapun, karena ia telah memberi keputusan.

"Nad, panggil dokter Galih di kamarnya." Perintah Dave.

Nadia bergegas, menuju kamar di salah satu ruang, di rumahnya. Mendengar nama dokter Galih di sebut, Angga sedikit menahan nafas. Tak terima, kenapa harus dokter Galih yang menangani Viola, kenapa bukan Dave saja. Tetapi Angga masih tetap pada pendiriannya.

"Vio, stay with me, jangan ikuti fikiran kamu." Pesan Dave pada Viola, yang sebagian besar tubuhnya berada di lantai dan kepala yang Dave sangga.

Nadia datang dengan air minum di tangannya. Dokter Galih dengan segala penampilan nyentrik bak model segera mengambil alih Viola.

Dokter Galih adalah saudara dari Nadia. Ia lulusan tahun ke empat, dokter umum yang bertugas di IGD. Di rumah sakit tempat Dave bekerja. Ia memang tidak menetap di rumah Nadia tetapi ia sering berada di sana.

"Dok, lakukan sebaik mungkin." Pesan Dave.

"Oksigen dirumah ini sedang habis Dave." Cakap dokter Galih.

"Bahkan nafas buatan bisa memancing adrenalin pasien kan dok? Sehingga bisa membuatnya sadar kembali." Ucapan Dave membuat dokter Galih tercengang, dan berhasil membuat Angga tercekat nafasnya.

Kepala Angga menoleh ke arah Viola yang dengan mudah di gotong oleh dokter Galih. Sampai tak terlihat karena terhalang pintu masuk. Mereka membawa Viola ke kamar tamu. Anggara beserta rombongan melihat adegan itu dengan bingung dan tak perduli.

Angga mencoba menenangkan diri. Namun fikirannya terlaku kotor, adegan demi adegan yang tak bisa ia bayangkan sebelumnya tiba-tiba muncul begitu saja. Bahkan adegan dokter Galih memberi nafas buatan berhasil mendidihkan darahnya saat ini. Otaknya terus memutar hal bodoh yang belum tentu terjadi. Hatinya menginginkan tetap tenang, namun fikiran dan jiwanya terus memberontak. Kepanikannya tak dapat di sembunyikan.

Akhirnya ia menyerah di menit kesepuluh. Angga berlari menuju kamar dimana Viola di tangani.
Ia membuka pintu dengan paksa. Melihat adegan Viola berada di pelukan lelaki lain membuatnya ingin membunuh siapa saja yang melakukan itu. Viola menangis dan Galih memberinya pelukan. Seharusnya ia senang Viola tidak lagi lemas dan kesadarannya sudah kembali. Namun bukan itu, Angga justru mengamuk dokter Galih. Beberapa pukulan mendarat di wajah dokter Galih, dan mendapat balasan setimpal karena dokter Galih pun memiliki perawakan six pack. Mudah baginya untuk menghantam Angga.

Dave memisakan keduanya. Terutama ia memegangi Angga. "Gue cuma mau yang terbaik buat Viola."

"Ngga ada yang boleh menyentuh dia." Ucap Angga dengan Nada tinggi terdengar sangat marah.

Dokter Galih memegangi bibirnya yang terasa perih, dan pergi dari ruangan itu. Pandangan mata Angga masih ingin sekali membunuh. Tetapi Dave mencegah Angga mengejar.

"Tidak semua hal bisa lu dapat Angga." Titah Dave juga dengan nada tinggi.

Kali ini Angga sulit mengontrol dirinya sendiri. Ia menarik paksa Viola untuk pergi bersamanya. Bahkan ia tak perduli keadaan Viola yang masih seperti mayat hidup.

Melewati rombongan keluarganya, Angga berhenti. "Bunuh gue Anggara jika memang lu mau memisahkan gue sama dia. Bahkan gue sudah mencoba, dan gue gagal di menit ke sekian. Bunuh gue jika lu mau begitu."

KubikelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang