Prolog

912 67 13
                                    

Hallo...
Terimakasih banyak karena sudah menyempatkan waktu buat baca cerita aku yang masih amatiran ini :)

Oh iya, aku minta tolong boleh? Sebelum baca cerita ini, tolong pencet tanda ⭐️ karena dengan itu, kalian udah memberi aku semangat buat lanjutin cerita ini. Dan satu lagi, jempol kalian nggak akan keseleo kok kalau pencet tanda itu hehehehe.

Udah gitu aja, Terimakasih banyak yaaaaa

***

Jika ditanya kapan terakhir kali Kara merasakan kebahagiaan, mungkin jawabannya adalah malam itu. Malam dimana dia merasa kebahagiaan kembali menyelimuti rumahnya setelah hampir delapan tahun lamanya. Terdengar agak berlebihan, namun Kara tidak mau menyangkal. Itu memang malam terakhir ketika dia bisa tersenyum dengan tulus tanpa beban.

Pukul setengah delapan malam, seorang laki-laki yang selama ini sudah dia anggap seperti Kakaknya sendiri tengah mengulas senyum manis kepada Nadine, keluarga satu-satunya yang masih Kara miliki.

Perlahan tangan Azka mengelus permukaan tangan Nadine dengan lembut. Mulut pria itu terbuka, dan kalimat yang keluar setelahnya berhasil membuat jantung Nadine berdetak lebih cepat.

"Nadine, aku mau kamu menjadi temanku dalam senang maupun susah. Temanku dalam mengarungi masa depan. Temanku dalam merawat dan mengurus anak-anakku kelak. Teman hidup dan matiku. Aku mau kamu dan aku saling terikat dalam sebuah tali yang disebut pernikahan. Kamu mau 'kan?" Untaian kalimat manis itu berhasil meluluh lantakkan kesedihan dalam hati Nadine dan Kara yang selama delapan tahun terakhir sudah lupa bagaimana cara untuk berbahagia.

Namun kebahagiaan tersebut tidak berhenti sampai disitu, senyuman di wajah Kara semakin merekah saat dia menyaksikan Nadine mengangguk malu-malu sebagai tanda bahwa Kakaknya itu sudah menerima lamaran Azka.

Malam itu rasanya seorang Aghiakara Wulandari menemukan secelah kebahagiaan perlahan mulai kembali kedalam hidupnya. Dia pikir setelah itu, rumahnya yang sepi akan lebih berwarna karena kehadiran Azka dan mungkin saja, keponakan-keponakannya nanti. Dan malam itu juga, Kara benar-benar berharap tidak ada lagi rasa sepi yang menyeliuti rumahnya sepeninggal Ayah dan Ibunya delapan tahun yang lalu.

Setidaknya waktu itu Tuhan memberi kebahagiaan kepada Kara walaupun hanya sebentar. Karena setelahnya, Kara baru sadar bahwa Tuhan itu Maha membolak-balikkan hati. Delapan tahun tidak cukup untuk menguji seorang Kara. Dia harus melewati tahun-tahun berikutnya dengan takdir yang baru. Takdir yang bahkan lebih buruk dari sebelumnya.

*
TBC

Banjarmasin, 14 Juni 2019.

EstungkaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang