Part 14

232 31 5
                                    


Selamat membaca ❤️❤️

**

Ditinggal pergi kedua orangtua hampir sembilan tahun lamanya membuat seorang Aghiakara Wulandari sudah lupa bagaimana rasanya diperhatikan. Namun sejak memutuskan untuk ikut menopang hidup bersama keluarga Trias, Kara baru sadar bahwa ia harus beradaptasi dengan semua hal-hal asing yang sudah lama tidak ia rasakan. Termasuk, rela menerima keposesifan dari Sekar dan Erwin yang mulai membuat gadis itu bertanya-tanya dalam hati.

Apa memang seperti ini kah seharusnya seorang anak di perhatikan? Atau ini semua adalah suatu hal yang berlebihan? Entahlah. Kara juga tidak tau.

Yang jelas, ia masih ingat bagaimana raut wajah kedua orangtuanya itu saat ia meminta izin pergi ke sekolah menggunakan sepeda motornya pagi ini, bukan diantar Pak Banu seperti biasa.

Awalnya Kara pikir ia hanya perlu berucap. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Agar bisa berangkat menggunakan motor butut yang sudah lama tidak ia pakai itu, Kara harus beradu argumen dengan Sekar dulu. Walaupun modelannya tidak sampai membuat keduanya bertengkar, tapi tetap saja, Sekar terus melayangkan kekhawatiran yang menurut Kara sama sekali tidak masuk akal. Ekspresi ibunya itu bahkan sudah mirip seperti ia bakalan mati saja apabila masih keukeh ingin berangkat sendiri.

Kara segera memakirkan scoopy merahnya begitu ia sampai di parkiran yang saat itu masih lenggang karena jam baru menunjukkan pukul tujuh kurang. Yah.. seperti yang bisa kalian tebak. Akhirnya Kara berhasil meyakinkan Sekar untuk mengijinkan ia mengendarai satu-satunya alat trasnfortasi peninggalan Nadine itu.

Setelah meletakkan helm bogo di atas jok motor, Kara mulai melangkah menuju kelasnya yang berada di lantai dua bangunan SMA Nusa Darma. Ketika berjalan melewati lapangan tiba-tiba pikirannya melantur tidak jelas. Ia jadi kepikiran kenapa letak kelas XII malah ada di tingkat dua, bukannya di lantai pertama. Mungkinkah alasannya untuk memudahkan murid yang sedang frustasi buat bunuh diri? Tapi kayaknya sih enggak. Soalnya kalau jatuh dari sana palingan cuma keseleo, atau mentok-metok geger otak doang.

Kara otomatis menggeleng. Ngawur! ujar gadis itu dalam hati.

"Long time no see."

Kara reflek menoleh ke sumber suara, menjumpai seorang lelaki asing yang tegah mengukir senyum manis entah kepada siapa.

Dahi Kara mengerut. Memilih tidak menghiraukan sapaan yang sepertinya tidak ditujukkan untuknya itu.

"Gimana kabar kamu?"

Langkah Kara yang hendak menginjak anak tangga terhenti. Kepalanya celingukan mencari kehadiran murid selain dia yang mungkin saja sedang berlalu lalang di koridor. Namun, hasilnya nihil. Tidak ada seorang pun di tempat tersebut selain dirinya dan lelaki yang kini masih berdiri seraya mengukir lengkungan bulan sabit.

"Aku?" ujar Kara sambil menunjuk dirinya.

Lelaki yang Kara tidak tau namanya itu mengangguk.

"Kamu pasti nggak inget sama aku, kan?"

Kara menggeleng, otomatis mundur beberapa langkah ketika lelaki itu mulai berjalan mengikis jarak diantara mereka.

"Emangnya kita pernah kenal?" ujar Kara dengan alis yang menyatu.

Ekspresi kecewa langsung terpasang di wajah lelaki itu."Tuhkan. Tebakanku benar," katanya sambil menunduk sebelum satu sekon kemudian kembali mengangkat wajah. "Tapi wajar aja sih kamu nggak inget. Udah lama juga sejak terakhir kali kita ketemu."

EstungkaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang