Ulangan semester ganjil yang akan diadakan sekitar dua minggu lagi membuat Trias Samudera persis seperti orang yang baru saja terkena bencana, jatuh tertimpa tangga, mati kutu hingga tidak dapat berbuat apa-apa. Dan sialnya, tidak ada orang yang pantas disalahkan atas semua itu melainkan dirinya. Sekali lagi yang namanya penyesalan itu memang datang terakhir, karena kalau diawal, pendaftaran namanya.
"Silahkan liat sendiri nilai kamu yang luar biasa keren ini." Pak Naren menunjuk nama Trias di buku penilaian.
Laki-laki itu cengengesan. Kata "keren" yang tadi disematkan Pak Naren pun bukan berupa sebuah pujian. Karena faktanya tidak ada satu biji pun angka yang tertulis di sebelah namanya selama semester ini.
"Nggak pernah ikut presentasi, nggak pernah ikut berpartisipasi saat praktek di lapangan, nggak pernah mengumpulkan tugas sama sekali, dan yang terakhir, cuma pernah tiga kali masuk pas mata pelajaran saya." Pak Naren bertepuk tangan. "Otak kamu itu kalau nggak kepakai bapak saranin mending dijual aja."
Kalimat panjang lebar yang diucapkan oleh Pak Naren membuat beberapa pasang mata langsung tercengang. Namun setelah tau dengan siapa pria paruh baya itu bicara, guru-guru disana langsung paham mengapa Pak Naren bisa berkata demikian.
"Kenapa kamu sering nggak masuk saat mata pelajaran saya?"
Trias diam. Bukan karena takut dengan kegarangan Pak Naren. Tapi karena takut kalau ia mejawab jujur nasibnya akan berakhir sama seperti saat berhadapan dengan Pak Edon beberapa waktu yang lalu.
"Jawab dengan jujur!" sorot tajam dari mata Pak Naren masih tertuju pada manik Trias.
Lelaki itu akhirnya pasrah. "Ya karena saya bosan. Saya nggak ngerti. Saya nggak paham." selama ini Trias heran apa faedahnya belajar sosiologi. Karena sosiologi itu kan ilmu yang membahas tentang manusia, dan berhubung selama ini ia sudah terlahir sebagai manusia, jadi buat apa ia harus pusing-pusing belajar masalah manusia?
Plis deh, itu sama aja kayak sapi disuruh belajar ngomong 'moooo'.
"To the point aja Pak. Tugas apa yang harus saya kerjain?" ujar Trias santai.
Pak Naren hanya menatap datar murid kurang ajar itu. Ia tidak terkejut. Karena kelakuan Trias yang begini sudah ia hafal di luar kepala. Mungkin tidak cuma dia. Tapi rata-rata guru yang mengajari Trias sudah pernah merasakan hal yang sama.
"Saya punya dua pilihan buat kamu."
Trias hanya mengangguk. Sebenarnya ia tidak terlalu peduli.
"Kamu kerjakan semua soal yang ada disini." Pak Naren mengambil sebuah buku paket tebal di atas meja. Sementara Trias langsung memicingkan mata ketika melihat betapa tebalnya buku itu.
"Atau kamu kerja-"
"Oke. Saya bakalan milih yang satu ini." potong Trias cepat. Jauh berbeda dengan pilihan sebelumnya membuat Trias tanpa pikir panjang langsung mengambil selembar kertas hvs ditangan Pak Naren. Ia melirik sekilas pada deretan soal yang tertulis disana sebelum melipat kertas itu dan memasukkannya kedalam saku celana.
"Cuma itu aja 'kan, Pak?"
Pak Naren mengangguk. "Iya, cuma itu. Tapi bapak mau kamu ngumpulinnya senin ini, ya." ujar Pak Naren. "Dan kalo sampe berani nggak ngerjain, siap-siap aja bakalan nggak lulus tahun ini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Estungkara
Teen Fiction"Lo mau duit berapa?" Laki-laki itu medecih pelan, mengabaikan tatapan tajam dari sang gadis yang masih terpaku akibat ucapannya. "Maksud kamu?" Kening sang gadis berkedut, dia masih belum sepenuhnya mengerti. "Nggak ada manusia yang beneran baik d...