Part 9

293 32 5
                                    



Maafkeun daku kalau ada typo ya seyeng...

****

Kara memutuskan kembali ke kelasnya setelah bel pergantian jam baru saja berbunyi. Sebelum melangkah menuju kursinya, gadis itu sempat mengedarkan pandangnya menuju deretan bangku di belakang, seolah sedang memastikan Trias sedang duduk di sana atau malah sudah keluar kelas dan bolos seperti biasa. Dua detik kemudian, hembusan nafas lega buru-buru keluar dari hidung Kara setelah mendapati tiga kursi yang berjejer paling belakang tidak ada penghuninya.

Bukannya apa-apa, Kara hanya tidak ingin emosinya kembali naik lagi setelah tadi sudah berjuang mati-matian mengontrol kesabarannya. Kata-kata yang diucapkan Trias kepadanya memang selalu saja berhasil menusuk-nusuk ulu hatinya. Tapi sayang, ia tidak punya pilihan selain bertahan dan berusaha keras untuk menetralisir semua rasa sakit itu.

"Aku nggak habis pikir kalau Trias se-keterlaluan itu sama kamu."

Sebuah suara berhasil menyadarkan Kara dari lamunannya. Ketika gadis itu menoleh, ia sudah mendapati Ralin menggeser kursi lalu duduk di depannya.

"Kamu nggak apa-apa 'kan, Ra?" raut wajah Ralin kini berubah menjadi khawatir. Mendengar dari cerita teman-temannya, ia tahu benar kalimat pedas macam apa yang dikatakan Trias kepada Kara tadi.

Kara menggeleng, "udah biasa, kok." Katanya sambil tersenyum masam.

Ralin menghembuskan nafas kasar. Ia benar-benar iba dengan Kara. Kematian semua keluarganya sudah cukup membuat gadis di hadapannya ini terluka, ia tidak mau lagi luka Kara yang sudah teramat dalam itu semakin bertambah akibat bocah laki-laki yang entah kenapa selalu menyakiti hati sahabatnya tanpa alasan yang jelas.

"Lagian Trias tuh ada masalah apa sih sama kamu, Ra? Perasaan, tiap kali dia ngomong sama kamu bahwannya sensian terus. Mana pake ungkit-ungkit masalah keluarga kamu lagi!" Oceh Ralin yang jadi kesal sendiri dengan tingkah laku Trias. "Dan aku rasa, selama ini kamu nggak pernah sekalipun terlibat masalah sama dia, 'kan?"

Kara tidak menjawab. Dan detik itu juga ia baru tersadar kalau Ralin belum mengetahui hal apa saja yang sudah terjadi dalam hidupnya beberapa minggu terakhir. Hal yang juga menjadi alasan dibalik kebencian Trias terhadap dirinya bertambah.

"Ra?" Panggil Ralin kepada Kara yang sedang melamun lagi.

"Itu.." Kara menggigit bibir bagian dalamnya. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya kepada Ralin. Terlebih, mereka sedang berada di dalam kelas yang otomatis saja akan ada beberapa pasang telinga yang pasti juga mendengar kisah Kara.

"Kamu nyembunyiin apa dari aku, Ra?" Bola mata Ralin memandang Kara tajam, seolah-olah sahabatnya itu adalah seorang pencuri yang harus segera diintrogasi.

"Ng-ggak ada," ucap Kara dengan suara yang sedikit terbata.

"Aku tau kamu bohong, Ra. Aku sengaja nggak mancing-mancing kamu buat cerita ke aku tentang hal apa aja yang terjadi sama kamu beberapa hari terakhir. Aku ngerti mungkin kamu perlu waktu. Tapi aku ini sahabat kamu, Ra. Kamu harusnya nggak perlu mikir dua kali buat cerita sama aku. Karena aku akan selalu siap dengerin cerita kamu, dan mungkin aja, bantu mengangkat beban hidup kamu." Ralin memandang kedua bola mata milik Kara. Gadis itu yakin sekali kalau sahabatnya ini sedang menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang mungkin saja berhubungan dengan kebencian Trias terhadap Kara.

Kara menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan. Ia sempat membuka mulut namun detik berikutnya bibirnya kembali tertutup. Ia benar-benar sedang kebingungan harus memulai ceritanya dari mana.

"Kemaren aku kerumah kamu. Tapi kata tentangga sebelah, kamu udah nggak tinggal di situ lagi." Kedua mata Ralin menyipit, "jadi, sekarang kamu tinggal sama siapa?"

EstungkaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang