Part 3

363 34 5
                                    

Riell lumayan kesulitan pas nulis part ini. Jadi, tolong banget dimaklumi kalau ada kata-kata yg nggak nyambung atau keliatan aneh gitu hehehehehe

Btw, scroll sampe bawah ya nanti ada visualisasi seseorang disitu😁

Terimakasih karena masih mau membaca❤️

**

Hancur. Adalah satu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan seorang Aghiakara Wulandari saat ini. Saraf-sarafnya seakan tak dapat berfungsi. Kakinya tak sanggup berdiri. Air matanya pun bahkan tidak bisa keluar. Ia sudah mati rasa.

Semalam, Kara sempat berpikir jika hari ini akan menjadi salah satu hari terbaik dalam hidupnya. Hari dimana seharusnya ia tengah tersenyum bahagia bersama Kakaknya yang masih bernafas. Hari dimana seharunya Kakaknya akan memulai lembaran baru bersama Azka. Hari dimana seharusnya ia menyaksikan Kakaknya tersenyum sambil menyalami tamu undangan.

Namun, nyatanya hari yang dinantinya sejak berminggu-minggu lalu itu seketika berubah menjadi mimpi buruk. Ia tidak akan melihat Nadine menikah hari ini, ia hanya akan melihat tubuh Kakaknya dimandikan, dikafani, disholatkan, lalu dimakamkan.

"Kasian banget, dia sekarang nggak punya siapa-siapa lagi...."

"Nggak kuat kalau jadi dia..."

"Padahal hari ini adalah hari pernikahan kakaknya, tapi malah jadi kayak gini...."

Sudah puluhan kali Kara mendengar kata-kata seperti tadi. Jika ia bisa, mungkin saat ini Kara sudah menulikan telinganya. Orang-orang datang silih berganti mengucapkan bela sungkawa, mulai dari teman sekelasnya, tetangga-tetangga, teman-teman kantor Nadine, dan yang terakhir Azka beserta keluarganya. Masing-masing mereka membisikkan kata semangat untuk Kara, seakan meyakinkan bahwa gadis itu kini tidak tinggal sendiri.

Kara ingin sekali percaya, namun kenyataan bahwa sosok yang sedang terbaring kaku dalam bungkusan kain kafan dihadapannya, membuat Kara tahu kalau apa yang dikatakan orang-orang tadi hanyalah sebuah omong kosong belaka. Saat ini, ia benar-benar hidup sebatangkara.

Kara meraba wajah Kakaknya yang sudah dingin. Ia tidak menangis, namun para pelayat yang melihat pandangan kosong Kara langsung paham, bahwa gadis itu lebih dari sekedar terluka. Disisi kanan Kara, ada Azka yang sama menyedihkannya. Lelaki itu terduduk lemas, mulutnya tanpa henti menyebut nama yang seharusnya hari ini resmi menjadi isterinya.

"Kamu nggak sendiri, Ra. Masih ada aku," Ralin, satu-satunya sahabat yang Kara miliki mendekat dan membawa tubuh kecil teman sebangkunya itu kedalam pelukan,"yakin sama aku kalau kamu kuat melewati semua ini," Air mata Ralin mulai turun membasahi pipinya.

Kara tidak membalas pelukan Ralin. Ia masih pada posisinya, diam sambil membelai wajah Nadine.

"Kara dengerin Aku," Ralin mengelus puncak kepala Kara dalam dekapannya, "Tuhan nggak mungkin kasih kamu cobaan yang berat kalau kamu nggak bisa ngelewatinya. Tuhan percaya sama kamu, Ra," suara Ralin terdengar parau akibat menangis.

Entah kenapa Kara merasa rentetan peristiwa hari ini begitu cepat berlalu. Malam tadi, ia dihubungi pihak kepolisian yang mengabarkan bahwa Kakaknya ditabrak sebuah Truk, lalu Kakaknya sempat dibawa kerumah sakit sebelum akhirnya dinyatakan meninggal subuh tadi, mobil jenazah pun tiba dirumah Kara, jasad Nadine kemudian dimandikan, dikhafani, dan sebentar lagi akan disholatkan. Saat itu semua terjadi, Kara seperti orang linglung. Ia tidak menangis, tatapan matanya kosong, diajak bicara dia tidak menjawab. Bahkan saat Nadine selesai dikafani, Kara hanya dapat menggeleng ketika salah seorang pelayat menyuruhnya untuk mencium jasad sang Kakak untuk yang terakhir kalinya.

EstungkaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang