Part 2

392 37 1
                                    

Tolong maaf keun penulis baru netas ini apa bila ada kata typo atau kalimat yang kurang efektif😢

Jangan lupa liat mulmed karena visualisasi Trias ada disitu hehehe...

Selamat membaca❤️

*

Trias mulai mendesah saat kakinya mulai mengijak salah satu komplek pemakaman yang benar-benar jauh dari hiruk-pikuk kota. Pemakaman yang bahkan lebih mirip seperti hutan dibandingkan pemakaman pada umumnya.

Pepohonan yang rimbun, rumput liar yang terlihat mulai meninggi, serta tanjakan berbatu membuat tempat itu bahkan tidak layak disebut sebagai komplek pemakaman. Makam-makam disana pun tidak beraturan, dan sepanjang yang Trias lihat, hanya ada sekitar enam atau tujuh kuburan ditempat itu. Dan anehnya lagi, tidak ada tulisan diatas batu nisan untuk menandakan identitas dari setiap pemilik makam. Hanya ada ukiran nama diatas batu yang tidak terlalu jelas jika dibaca untuk menandai beberapa makam disana.

Ketika akhirnya sampai pada gundukan tanah yang sudah ditumbuhi rumput-rumput kecil, Trias merasa kakinya tidak sanggup lagi untuk sekedar menopang tubuhnya. Ia lemas dan langsung terduduk. Perlahan, tangannya menyusuri tanah yang sebenarnya sudah hampir rata, menandakan bahwa jasad dibalik makam tersebut sudah tertimbun untuk waktu yang cukup lama.

"Maaf baru bisa jenguk sekarang ya, Dek," ucap Trias dengan suara parau.

"Nih, Abang bawain bunga Matahari kesukaan kamu. Ada lima belas tangkai, sesuai dengan umur kamu hari ini," Trias tersenyum masam sambil meletakkan buket bunga Matahari yang sempat dia beli sepulang sekolah tadi.

"Kabar kamu disana gimana? Surga rame,nggak?"

Trias menghela nafas, tangannya mulai bergerak mencabuti rumput liar diatas makam Adiknya.

"Kamu tau, nggak? Mama sama Papa nggak pernah berubah sejak kepergian kamu. Mereka nggak pernah peduli sama Abang," Trias tau perkataannya hanya berakhir pada udara kosong. Namun setidaknya apa yang dia lakukan itu sedikit banyak berhasil mengurangi beban hidup yang tidak dapat ia bagi kepada siapa pun.

"Papa masih kayak dulu, selalu sibuk. Mama juga. Mereka kayaknya udah lupa kalau mereka masih punya anak yang harus diurus," satu tetes cairan bening berhasil lolos dari mata Trias. Air mata yang langsung ia hapus dengan gerakan cepat.

Hanya ditempat ini Trias bisa menumpah kan keluh kesahnya. Tempat yang tidak siapa pun dapat mendengar semua penderitaan yang diam-diam begitu membebani kehidupannya selama ini. Biar saja ditempat ini ia menjadi seorang Trias yang cengeng karena telah menangis walaupun hanya sebentar. Dan cukup ditempat itu saja, yang menjadi saksi seberapa terlukanya dia.

"Abang nggak perlu duit banyak-banyak, Dek. Abang cuma mau mereka peduli. Itu aja cukup," ucapnya sambil memandang sendu tempat peristirahatan terakhir Adiknya.

Tangannya kini beralih mengusap ukiran sederhana diatas batu yang tulisannya hampir tak bisa dibaca. Nirvana Shanindya, Trias mengucapkan nama itu dalam hati sambil meringis karena rasa bersalah yang kembali hadir dalam dirinya. Rasa bersalah yang selama ini kian membesar akibat kesalahan fatal yang Trias buat terhadap Nirva dimasa lalu.

"Abang tau Dek, seribu kata maaf pun nggak cukup untuk kesalahan yang Abang buat sama kamu," ucap Trias penuh penyesalan.

"Dengan apa Abang harus bayar semua ini? Dengan nyawa Abang?"

"Abang tuh udah capek banget. Dari pada Abang sengsara kayak gini, mending Abang ikut kamu 'kan ke surga?" kalimat yang dia ucapkan terdengar miris.

EstungkaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang