Ryan melempar tas nya ke sembarang arah. Membuka hoodie navy nya dengan gusar. Lalu membanting dirinya ke atas kasur empuk berukuran king size.
Manik matanya menatap ke atas langit-langit kamar. Tak ada yang menarik, apalagi spesial, hanya warna putih yang mendominasi. Ryan mengusap wajahnya kasar. Merasa sangat frustasi hari ini.
Ia baru saja jatuh hati dengan Tasya sejak liburan gratis itu. Entah kenapa dirinya merasa sangat nyaman berada di samping Tasya. Ada gejala aneh yang menyerang jantungnya, semacam getaran-getaran halus yang sebelumnya tak pernah ia rasakan.
Rasanya seperti terbang tinggi, lalu di jatuhkan kembali. Ryan kecewa, ia pikir Tasya beda, tetapi sama saja seperti perempuan pada umumnya. Pemberi harapan palsu. Kali ini korbannya lelaki, bukan wanita, aneh memang.
Senyuman manis Tasya tiba-tiba muncul di benaknya. Ryan seakan tersadar, ia langsung membuang jauh-jauh pikirannya yang sudah mulai melantur. Tangannya mengeluarkan ponsel yang semula ada di dalam saku celana. Saat itu juga bayangan wajah Tasya muncul di layar ponselnya.
"Kenapa lo mulu sih!" Ryan melempar ponselnya ke sembarang arah. Lalu menjambak rambutnya sendiri. Sepertinya kali ini ia sudah kehilangan akal sehat.
Ia meraih handuk putih yang tergantung di belakang pintu. Langkahnya membawa Ryan menuju kamar mandi. Ryan menatap dirinya di depan cermin. Penampilannya sungguh sangat kacau.
Dengan cepat ia menyalakan kran air wastafel dan membasuh wajahnya kasar. Lalu kembali memadang pantulan dirinya dalam cermin. Rambutnya basah, wajahnya seakan kembali segar. Sepertinya ini lebih baik daripada yang sebelumnya.
Ryan menyiapkan air hangat untuk berendam. Yaa, mungkin ia membutuhkan sedikit ketenangan, pikirnya.
Kembali memandang wajahnya lagi dari pantulan cermin. Matanya seakan melihat kejadian Max yang mengulurkan tangannya untuk membantu Tasya di dalam cermin itu.
Hingga dalam sekejap Ryan memukul cermin yang semula cantik menjadi retak tak beraturan. Tangan kanan yang ia gunakan tadi mengeluarkan banyak darah.
"Bunda obatin," pinta Ryan.
Emily terlonjak kaget, ia menatap nanar tangan putra sulungnya. "Kenapa lagi Bang? Astaga!" Emily memberi jeda. "Mukul cermin kamar mandi lagi?" tanya Emily memastikan.
"Enggak mukul, cuman nyentuh" jawab Ryan dengan wajah tanpa dosa.
"Kata nyentuh dalam diri kamu itu sama aja mukul Bang" Emily pergi mengambilkan kotak P3K tak lupa dengan mulutnya yang terus mengeluarkan cuap-cuap nasihat untuk Ryan.
Emily membersihkan luka Ryan menggunakan kapas dan cairan khusus, agar tidak mengalami infeksi.
"Ada masalah apa? Ayo cerita sama Bunda, Bang" ucap Emily setelah selesai memasangkan perban pada luka Ryan.
Tak ada jawaban. Ryan masih tak bergeming ditempatnya. "Bunda tuh ibu kamu Bang, bukan orang asing, ayo cerita" bujuk Emily.
"Ga bisa Bun" balas Ryan. Lelaki itu memang sama sekali tidak berminat untuk membicarakan Tasya saat ini. Apalagi dengan kondisi mood nya yang sudah hancur berantakan. Dan Tasya adalah penyebab utamanya.
Emily menganggukkan kepalanya. Ia tak mau terlalu memaksa Ryan untuk bercerita, biarkan anaknya menyelesaikan masalahnya sendiri. Emily yakin Ryan pasti mampu akan hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anatasya
Teen Fiction'aku dan kamu hanya ditakdirkan untuk bertemu, bukan bersatu' dijaga, hilang dikejar, lari dipertahankan, pamit disempurnakan, rusak diharap-harap, ingkar begitulah takdir, sederhana sesuatu yang takdirnya bukan milik kita, dipaksakan sekuat apapun...