Tasya sudah siap dengan leging hitam panjangnya dan kaos oversize putih. Kakinya menuruni anak tangga satu persatu.
“Mau kemana sayang? Udah malem looh, gabaik perawan keluyuran” kata Omi yang sedang sibuk menonton televisi di ruang tamu.
“Ke mini market Omi, Tasya mau beli camilan, sekalian bahan buat masak pancake nanti” balas Tasya.
“Mau di anter Pa Rudi pake mobil?” Pa Rudi—supir pribadi yang siap mengantarkan Tasya kemanapun.
Tasya menggeleng. “Enggak Omi, Tasya jalan aja, mini market nya deket kok, cuman di depan kompleks”
“Biarin Tasya jalan sayang, jangan terlalu posesif sama cucu” sahut Opi sambil memakan kacang atom.
“Apasih kamu ikut-ikut aja. Aku tuh cuman gamau Tasya kenapa-napa, dia kan cucu kita satu-satunya” papar Omi.
Tasya mencium sopan punggung tangan Omi dan Opi bergiliran. “Tata. Titi. Tutu. Jumpa dulu!” Tasya melambaikan tangannya. Lalu bergegas keluar dari rumah.
Angin berhembus dengan tenang. Temaram lampu yang berada di jalan membuat Tasya merasa sedikit aman. Ia mengedarkan pandangannya. Kompleks perumahaannya memang selalu sepi dan Tasya tak suka itu.
Sendal rumahan dari brand Gucci yang berwarna hitam menjadi alas kakinya saat ini. Tasya memasang earphone putih di telinganya, dan mulai melantunkan lagu-lagu favoritnya.
Tiba di mini market, Tasya langsung mengambil keranjang berwarna merah yang di sediakan. Mulai mengisinya dengan beberapa soft drink dan dua renteng cokelat seduh.
Tangannya mengambil beberapa makanan ringan yang biasa dibeli. Lalu permen. Es krim. Keju. Dan terakhir tepung untuk pancake yang telah diolah, jadi Tasya tinggal mencampurkan nya dengan air lalu di masak. Serta makanan yang lainnya.
“Totalnya jadi dua ratus ribu lima ratus perak” Tasya mengeluarkan kartu debitnya.
“Ada tambahah lagi Kak?” tanya kasir. Tasya menggeleng.
“Untuk roti kumisnya kita lagi ada promo beli satu gratis satu hanya dengan harga sepuluh ribu” Tasya menggeleng.
“Ga mau sekalian isi pulsa atau token nya Kak?” Tasya menggeleng.
“Lima ratus peraknya boleh disumbangin ke yayasan pundi amal Kak?” kali ini Tasya mengangguk.
“Terimakasih telah belanja di mini market. Belanja puas. Harga pas.”
Tasya keluar dari mini market. Matanya menangkap penjual terang bulan di sebrang sana. Membayangkan lelehan cokelat dan betapa lembutnya tekstur martabak. Karna sudah keinginan diambang batas, Tasya akhirnya memutuskan untuk membeli martabak itu.
Pandangannya menatap jalan besar yang sangat ramai. Tasya ingin menyebrang, tetapi dirinya diselimuti rasa takut. Tiba-tiba seseorang menggegam tangan Tasya dan membantu Tasya menyebrang.
Dia, Ryan.
“Makasih” ucap Tasya sambil menoleh pada lelaki itu.
Ryan tersenyum. “Sama-sama” balasnya.
“Ehm, gue beli itu dulu yaa,” Tasya menunjuk ke arah penjual martabak. “Tungguin, nanti lo bantuin gue nyebrang lagi yaa” mohon Tasya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anatasya
Teen Fiction'aku dan kamu hanya ditakdirkan untuk bertemu, bukan bersatu' dijaga, hilang dikejar, lari dipertahankan, pamit disempurnakan, rusak diharap-harap, ingkar begitulah takdir, sederhana sesuatu yang takdirnya bukan milik kita, dipaksakan sekuat apapun...