Tasya merebahkan dirinya di kasur. Ia memejamkan matanya. Hanya sebentar, lalu melek lagi. Tasya berjalan menuju balkon kamarnya, sambil menikmati angin sejuk di sore hari.
Dirinya sudah wangi, karna baru saja selesai mandi. Kini Tasya memakai piyama polos merah muda yang sangat cocok dengan kulit putih pucat gadis itu.
Mata Tasya menangkap seseorang berpakaian serba hitam yang sedang memperhatikannya sejak tadi.
Bulu kuduk Tasya seakan berdiri, rasa takut mulai menyelimuti dirinya. Dengan cepat Tasya kembali ke kamar. Tak lupa mengunci rapat pintu pembatas antara balkon dengan kamarnya.
Seseorang berpakaian serba hitam itu tersenyum smirk. Sepertinya misi dari bos nya akan ia jalankan sebentar lagi.
Tasya dengan cepat menaiki kasur. Lalu menutupi tubuhnya dengan selimut tebal berwarna abu. Dibalik selimut, ia mengigiti kukunya. Perasaannya sangat tidak enak sekarang. Tasya rasa sesuatu yang besar akan terjadi sebentar lagi. Namun dengan cepat menghilangkan pikiran negatifnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah sesuatu yang besar itu tidak boleh terjadi.
Dilain sisi Hendrawan memijat pelipisnya. Bagaimana tidak, para klien-klien nya mengajukan protes. Banyak yang bilang, cara kerja Hendrawan tidak benar sebagai pengacara. Tak jarang juga ada yang memaki-maki dirinya akhir-akhir ini.
Dering ponsel membuyarkan lamunan nya. Terpampang jelas nama Pak Ardi—salah satu klien nya. Dengan cepat Hendrawan menjawab panggilan itu.
“Bapak bisa kerja atau tidak sih? Katanya pengacara yang handal. Tetapi kenapa hak asuh anak saya kenapa jatuh ke mantan istri saya?”
“Memang begitu Pak prosedurnya. Disana kan sudah jelas bahwa Bapak sendiri tidak pernah merawat dan mementingkan anak Bapak. Jadi hak asuh anak jatuh ke mantan istri Bapak.”
“Ah! Saya tidak peduli. Intinya saya mau hak asuh jatuh ke tangan saya. Apapun caranya.”
“Tidak bisa Pak, mohon maaf, mantan istri Bapak lebih berhak atas itu”
“Oh Bapak membelanya sekarang? Bukankah yang klien Bapak adalah saya? Bukan dia.”
“Iya Pak. Saya tahu. Disini saya tidak membela siapapun. Tetapi itu sudah keputusan pengadilan. Tidak bisa di ganggu gugat lagi”
“Dasar pengacara abal-abal! Sia-sia saya membayar anda mahal untuk menangani kasus perceraian.”
Klik!
Sambungan diputuskan sepihak oleh Pak Ardi di sebrang sana. Hendrawan mengusap dadanya pelan. Mencoba sabar dalam menghadapi kliennya itu.
Tiba-tiba saja ponselnya berdering lagi. Hendrawan mengucapkan doa, semoga bukan klien yang mengutarakan protesnya seperti tadi. Dan, syukurlah, ternyata yang terpampang adalah nama Jason.
“Ada apa, Jason?”
“Dia benar-benar telah kembali, Tuan”
“Dimana dia sekarang?”
“Depan rumahmu, tetapi itu hanya sekedar suruhannya”
“Iyakah? Apakah kau sudah memastikannya dengan benar? Karna saya dan keluarga sedang baik-baik saja disini”
“Benar Tuan, aku tidak mungkin memberitahu berita asal-asalan kepadamu. Apakah anda yakin baik-baik saja? Coba cek kamar putri tunggalmu. Menurut CCTV yang kulihat, orang itu sedang mengarahkan pandangannya ke balkon kamar Tasya”
“Baiklah. Lanjutkan pengintaian mu. Lalu kabarkan kepadaku.”
Hendrawan langsung memutuskan panggilan secara sepihak. Dengan cepat ia melangkah menuju kamar putrinya, tak mau sesuatu seperti dulu kembali terulang. Hendrawan mengetuk pintu kamar Tasya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anatasya
Teen Fiction'aku dan kamu hanya ditakdirkan untuk bertemu, bukan bersatu' dijaga, hilang dikejar, lari dipertahankan, pamit disempurnakan, rusak diharap-harap, ingkar begitulah takdir, sederhana sesuatu yang takdirnya bukan milik kita, dipaksakan sekuat apapun...