14

45.5K 6.8K 556
                                    


"I love you without knowing how, or when, or from where. I love you simply, without problems or pride: I love you in this way because I do not know any other way of loving but this, in which there is no I or you, so intimate that your hand upon my chest is my hand, so intimate that when I fall asleep your eyes close."  -Pablo Neruda-

Ke esokan harinya, Dirga sudah menunggu Jeana di depan ruangannya karena kalau bisa dilihat Jeana masih mempunya beberapa pasien untuk konsultasi. Sekitar lima belas menit kemudian pintu terbuka dan memunculkan sosok Jeana yang sedang mengantarkan pasien terakhirnya.

"Hai.." sapa Dirga.

Jeana menolehkan kepalanya dan sedikit terkejut ketika mendapati Dirga yang sudah rapi dan menunggu di kursi tunggu.

"Loh Mas Dirga kok ada disini?" Pekik Jeana.

Dirga tersenyum kemudian tangan nya terulur untuk mengacak poni tipis milik Jeana. "Kebiasaan deh lupaan jadi orang. Kan kemarin aku bilang kalau hari ini mau ketemu WO."

Jeana menepuk keningnya dengan agak sedikit keras. "Astaga!! Mas Dirga ih.. untung aja aku udah selesai konsul. Mau berangkat sekarang?"

"Iya sekarang aja, lagi pula mereka udah nunggu."

Setelah Dirga berkata seperti itu, Jeana langsung melesat masuk ke dalam ruangannya untuk mengambil tas dan semua barangnya yang tertinggal.

Tepat jam setengah lima sore Dirga dan juga Jeana sampai di tempat yang sudah di janjikan kalau mereka akan bertemu dengan pihak WO dan ternyata sesuai apa yang Dirga katakan tadi kalau pihak WO sudah menunggu mereka.

"Selamat sore mbak, mas.. aduh maaf yah telat. Mbak sama mas nya udah nunggu lama?" Ucap Jeana begitu dirinya dan Dirga duduk di depan pihak WO.

"Ini calon istri saya mas, mbak." Tambah Dirga.

Jeana tersenyum kemudian mengulurkan tangannya untuk sekedar bekenalan dengan pihak WO. "Jeana, panggil Jeje aja mbak, mas."

"Jadi, gimana nih gimana.. mau konsep yang kaya apa?" Tanya salah satu pihak WO.

Dirga tersenyum untuk menanggapi. "Saya serahin semuanya sama Jeana aja, saya tinggal ikut."

"Wah, mas Dirga nya udah pasrahin nih ke calon istrinya.. jadi mau konsepnya gimana nih mbak Jeje?"

Jeana tersenyum malu, lalu sedetik kemudian terlihat berpikir untuk memikirkan konsep pernikahan yang sesuai dengan apa yang ia mau.

"Eum.. kalo saya sih pengennya simple aja mbak, mas tapi masih ada sisi yang bisa memikat tamu undangan nya. Saya juga mau suasana nya kekeluargaan aja, jadi nanti waktu resepsi nya saya gak terlalu suka ada pelaminan terus pengantinnya di pajang gitu.."

"Oh mungkin kalau untuk itu nanti kita bisa sesuaikan dengan gaun dan tuxedo yang nanti mas sama mbak pakai, jadi nanti pakaian nya semi formal aja jadi mas sama mbak bisa keliling untuk ketemu sama tamu undangan."

Jeana mengangguk setuju.

"Oh iya saya maunya nuansa warna peach sama mint."

"Boleh kan mas?" Tanya Jeana pada Dirga.

"Boleh. Kan aku ikut kamu aja."

Jeana kemudian tersenyum tulus, senang karena Dirga memperbolehkan dirinya untuk memilih warna kesukaannya untuk nuansa pernikahan mereka nanti.

"Baik mas sama mbak, kita juga punya beberapa rekomendasi gedung untuk acara nanti di sekitaran Jakarta.."

"Maaf mbak menyela, tapi kebetulan saya sudah menyiapkan tempat di Bali untuk acara pernikahannya."

Jeana menatap Dirga dengan tatapan tidak percaya karena ternyata Dirga benar-benar akan mewujudkan semua pernikahan impiannya.

"Mas Dirga.." cicit Jeana.

"Ssstt.. udah kamu gak usah pikirin itu. Aku udah dapet tempatnya, dan bagus banget. Pasti nanti kamu suka."

"Baik kalau begitu, untuk masalah undangan nanti akan saya email untuk contoh design undangannya. Mungkin untuk catering dan sourvenir mas Dirga dan mbak Jeje bisa datang besok atau lusa ke kantor kami untuk melakukan food testing dan melihat beberapa contoh sourvenir."

"Mungkin lusa aja mas," Balas Dirga.

"Baik mas Dirga, kalau begitu lusa kita akan siapkan untuk food testing nya."

Setelah membicarakan hal itu, pihak WO pamit untuk pulang karena masih ada beberapa client yang harus mereka temui, dan sekarang menyisakan Dirga dan Jeana yang masih sibuk dengan makanan yang baru saja pelayan cafe bawa.

"Mas Dirga," Panggil Jeana yang sesekali masih memasukan kentang goreng ke dalam mulutnya.

"Kenapa?"

"Aku mau tanya sesuatu boleh?"

Dirga mengangguk kemudian menarik gelas yang berisikan ice americano miliknya.

"Kenapa tiba-tiba mas Dirga ngelamar aku, I mean.. kita ini sama sekali gak ada pendekatan yang serius kan mas?"

Dirga yang di tanyain hal itu langsung menyimpan kembali gelas kopinya kemudian memalingkan muka ke arah Jeana duduk untuk memberikan semua fokus pada gadis yang ada di sampinya itu.

"Awalnya aku juga sama sekali gak kepikiran untuk secepat itu berani ngelamar kamu.. tapi aku mikir lagi di usia kita terutama untuk aku itu udah gak pantes yang namanya pacaran main-main sana sini.."

"Dan kebetulan aku ngerasa aku sudah cukup mampu untuk menafkahi kamu nanti, ya kenapa engga untuk milih jalan yang lebih serius tanpa adanya pacaran. Nanti setelah menikah pun masih bisa untuk pacaran."

"Waktu yang kurang lebih dua bulan itu cukup untuk aku mengenal kamu dan ngebuat aku yakin kalau kamu memang yang aku cari selama ini." Tambah Dirga.

Jeana sama sekali tidak menyangka jika Dirga akan mengeluarkan jawaban seperti itu. Tatapan matanya teduh ditambah dengan senyuman yang sesekali muncul di sela ucapannya, sangat berbeda dengan sosok Dirga yang ia temui pertama kali.

"Hayo ini pipinya kenapa jadi merah, hm?" Tanya Dirga sambil mencubit kedua pipi milik Jeana.

"Ihh sakittt." Protes Jeana.

Dirga tertawa melihat Jeana yang mengeluh kesakitan karena cubitan pipi yang Dirga berikan.

Chu!

"Aku kasih obat pipinya biar gak sakit lagi." Tangan Dirga sibuk mengelus kedua pipi Jeana setelah tadi mencuri ciuman di pipinya.

DIRGANTARA | Kim Doyoung ✔ [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang