20 | Boleh Peluk?

102 32 60
                                    

Senyum elok menampakkan diri. Meski ratusan purnama telah usai dilewati cahaya temaram tetap enggan pergi.

Mari sedikit menilik rajutan kisah ini; agar mengerti bahwa hidupnya tak semenarik yang kalian miliki.

***

"Zy! Gua nebeng balik dong!" seru Freya diikuti lambaian tangannya saat gadis bermanik coklat hazel itu melewati mereka—Freya, Deva, Anya yang sedang duduk tenang di bangku depan 11A4.

Gadis pemilik nama Zyzy itu menghentikan ayunan kaki. "Gua balik sama Tanjung," katanya menunjuk cowok lumayan tinggi yang terlihat berdiri sejajar dengannya.

Freya mengerucutkan bibirnya kecewa. "Yah, yodah sono pergi dah lo berdua," ujarnya dengan tingkah seolah menggusur kedua remaja itu.

"Oh iya gua inget, Kinan mana?" tanya Zyzy sewaktu dirinya menyadari bahwa mereka hanya bertiga.

"Tau, dia tadi minggat." Deva menggedikkan kedua bahu.

Zyzy mengangguk paham, ia tak memilih untuk ambil pusing. Dirinya 'kan hanya perlu menyampaikan amanat. "Gua tadi dibilangin Zea, katanya Kinan dijagain. Jangan sampe ke rooftop," ujarnya berkedip menukar pandang dengan mereka bertiga secara bergantian.

"Loh?" Anya membuat keningnya dilukis beberapa garis kerutan.

"Frey! Kinan mana?"

Satu suara terdengar menggema di koridor. Pemilik suara belum sepenuhnya menghampiri Freya, anak itu sedang berlarian kecil diikuti rasa panik yang nampak mengkaluti benaknya.

"Tadi Kinan pergi, katanya ada urusan," sahut Deva.

"Emang lo gak ketemu Kinan?" Freya justru balik menanya. "Gua telfon gak diangkat juga si tadi," sambung Freya kembali merogoh saku roknya mengambil benda pipih itu kemudian mengecek sejumlah hal di sana.

"Kinan kan mode silent mulu hpnya," tutur Anya melempar pandangan pada Freya.

Zyzy mulai tak mengerti arah bicara mereka. Ia mengode Tanjung—cowok disampingnya agar segera angkat kaki dari perbincangan mereka. "Balik dulu ya," kata Tanjung menebar senyum yang terbilang cukup rupawan.

Keempatnya sama-sama menoleh dan terangguk sesaat. Anya dan Deva menyempatkan diri melambaikan tangan. "Iya, ati ati Zy, Jung."

"Duluan, Bin." Tanjung menepuk-nepuk punggung Bintang, teman sekelasnya sewaktu kelas 10 dulu.

Dor!

Dor!

Dor!

"Anjir, siapa bego yang nyalain kembang api," omel Deva membenturkan telapak kakinya pada permukaan lantai koridor. Bukan apa-apa jantungnya sempat berpacu tajam bersamaan dengan ledakan meriah yang tentunya sedang merayapi dinding angkasa.

Hanya dalam sepersekian detik, Bintang, Freya, Deva, dan juga Anya membelalakkan matanya. Dalam otaknya terputar satu hal yang sama, "Kinan!"

"Gua tadi dibilangin Zea, katanya Kinan dijagain. Jangan sampe ke rooftop."

"Rooftop! Kita cek ke rooftop." Gelegar suara Freya terkesan mengkomandoni gerakan mereka semua. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan kecuali trauma yang dialami Kinan akan suara kembang api. Kinan sungguh akan tersiksa ingatannya bilamana mendengar suara beserta gemerlapnya kembang api.

Brak!

Kepala Gladys menoleh pada sumber suara.  Pintu yang dibuka paksa menghantarkan seorang pemuda dipenuhi peluh di sekitar pelipisnya. Tubuh Gladys mendadak bergetar hebat, matanya terbelalak tak percaya, untuk kesekian kali ia kehilangan harga dirinya.

BintanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang