33 | Ada Apa Dengan Bintang?

68 13 3
                                    

Kamu ini manusia yang butuh waktu untuk bernapas lega sekaligus menikmati titik jeda.

Kamu ini bukan gunung yang berdiri kokoh menjulang membelah langit megah. Bukan pula laut dengan ombak yang senantiasa berdebur mesra.

Jadi, beristirahatlah sejenak, ya?

***

Hari ini keadaan terasa lebih membaik dari biasanya. Sinar mentari menerobos masuk ke sudut ruangan gelap melalui celah ventilasi. Seakan berteriak kepada penghuninya, ayo bangun, berjuang dengan hari yang baru. Tetapi, mentari lupa, manusia itu kelewat keras kepala. Sampai pukul tujuh lewat sepuluh menit sang puan masih bergelung manja dengan selimut tidurnya.

Semerbak wangi harum memenuhi indera penciuman. Memang matanya tengah terlelap tetapi entah mengapa justru wangi harumnya berhasil menuntun pemuda tersebut menuju kebangkitan untuk hari baru. Namun, tetap saja raganya tak sanggup bila berpisah rasa dengan kenyamanan tiada tara. Padahal batinnya menjerit hendak menagih janji yang ditawarkan kepada si perut malang.

Sosok wanita dengan secangkir teh hangat di tangannya menyapa kedipan pertama anak laki-laki yang tak lain adalah Bintang. "Bangun, Tang. Males-malesan terus kapan sembuhnya?" katanya setengah menunduk demi menatap paras tampan anak tirinya.

Bibirnya mengerucut lucu. Terlampau gemas untuk ukuran laki-laki sedewasa Bintang. "Udah sembuh, Bun. Cuma pengen di rumah aja, ngga papa, 'kan?" tanyanya sedikit pelan kemudian terkikik lembut nyaris seperti merintih.

Tangan yang hampir menginjak usia renta tersebut menyapu kening Bintang. Selanjutnya berpindah merapikan rambut acaknya. Menepuk kedua belah pipi lalu bagian yang terakhir mengikuti arah hidung yang bertengger mancung dengan pesonanya. Sembari menikmati tiap sentuhan Ibunda, anak itu meliukkan badan. Sungguh, Bintang mendadak terlampau gemas.

"Bintang?"

"Hm?" sahut Bintang kini matanya tertutup sepenuhnya meski kesadaran telah terkumpul sejak kedatangan Ibunda.

Entah rasanya kali ini ia ingin bermanja dahulu sembari membahagiakan Bunda sekalipun bukan Mama. Ia ingin menikmati setiap perlakuan manis Bunda. Ia ingin lebih menganggap Retna seperti Mama, walaupun semua orang tahu posisi itu tak pernah terganti sampai ratusan purnama nanti.

"Mau makan apa?"

"Apa aja, Bun. Bintang suka semua makanan Bunda, selama nggak kebanyakan micin, sih. Hahaha," tukasnya lembut lantas membuka mata. Membiarkan dirinya bertatap muka dengan senyum manis wajah Retna.

Retna tertawa pelan. "Anak laki-laki pinter banget ngerayu, ya?"

Tak ada kalimat sanggahan. Karena sebetulnya apa yang Retna utarakan memang benar adanya.

"Yaudah, Bunda buatin sup ayam, oke?"

Bintang mengangguk, sekali lagi ia ingin bertingkah manis. Mencuri-curi kesempatan untuk mengecup pipi Retna. Sedetik kemudian hati wanita itu berdesir, ia lega, sejauh ini Bintang sangat menerima kehadirannya.

Menit-menit berikutnya terlewati. Siapapun itu yang mengirim perintah ghaib untuk Bintang, semesta sungguh berterimakasih. Pasalnya, tak ada guntur atau angin topan, anak itu sudah bertemu dengan air dingin dan busa-busa sabun mandi. Mengguyur rambutnya yang sudah menebal di bawah derasnya air shower. Pikirannya melayang kemana-mana. Bercabang tanpa tahu arah pulang.

Sekarang, Bintang berdiri tegap di depan kaca yang nyaris menyamai tinggi badan. Memastikan kaos oblong yang ia kenakan tanpa noda. Lalu, perlahan menyisir rambut basahnya lengkap sembari membawa kesan seksi yang luar biasa. Harum parfum maskulin favoritenya lagi-lagi menguar bersama udara memenuhi ruangan. Seusai berpose layaknya orang paling tampan sedunia alih-alih keluar dari pesembunyian kamar, Bintang justru menarik selimut tebal untuk ke-sekian kali.

BintanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang