04 | Berkat Sang Primadona

154 57 86
                                    

Aku tidak pernah tau cerita apa yang kau tawarkan untukku. Tokoh utama apa yang kau berikan kepadaku. Ini hanya tentang bagaimana kamu memperlakukan diriku.

***

Kriet.

Kusen pintu berwarna coklat susu membawa sesosok laki-laki dengan rambut yang telah basah kuyup. Anak itu langsung melimbungkan badannya begitu sebuah sofa dengan anggun menawarkan tempat peristirahatan.

"Bintang, baru pulang?" Suara lembut milik wanita yang selama ini mengasuh ia dengan penuh ketelatenan, menyambut kepulangannya hari ini.

Bintang menyempatkan kepala untuk menengok pada jam dinding, baru pukul 7 malam. "Iya, Bun. Bintang sering latian futsal belakangan ini."

"Yaudah, sekarang kamu mandi sana, makan ya? Mau dibuatin apa?" Usapan tangan pada rambut anaknya itu membuat si empunya mengulas senyum hangat.

"Bintang pengen spaghetti keju," katanya sembari mengerucutkan bibir. "Laper." Tangannya mengelus perut yang terbalut kaos lepek karena keringat milik ia sendiri.

"Cewek lo tadi kesini." Sebaris kata dari Bagas berhasil membiuskan udara dingin yang merebut kehangatan Bintang dan wanita disampingnya—Ibunda mereka.

"Lo boleh kasar sama gua, Bang. Tapi inget masih ada bunda di sini, lo diurus segede ini sampe kuliah sopan santun lo mana?" Bintang mencerca, ia tak habis pikir pola pikir kakaknya ini. Umurnya memang lebih tua, tapi sifat acuhnya terus mengikat melebihi Bintang sendiri.

Bagas hanya diam lalu menoleh sebentar. "Gak usah ceramah."

Kemudian, ia memilih menyingkir dari hadapan anak dan ibu yang sedang duduk menyalurkan rasa hangat satu sama lain. Jari jemari Retna mengelus punggung Bintang. Ia menggeleng pelan seolah mengatakan 'Bunda gapapa'.

Bintang mengangguk lalu melupakan Bagas yang sejenak mendidihkan otak. Ia melepas sepatunya lantas menenteng ke belakang.

"Bintang mandi dulu ya, Bun," ujar anak itu seraya bangkit dari duduknya.



#4 - Berkat Sang Primadona



Sementara itu, Kinan yang malam ini merindukan bersantai di Teras dengan ayahnya, meski sekadar menikmati serbuan angin malam serta minum kopi bersama. Walaupun yang Kinan tahu, dirinya bukan bagian dari keluarga asli, namun ia telah menganggap Pak Hadinata sebagai ayahnya sendiri.

Bicara soal keluarga Kinan, jujur anak itu sangat merindukan kedua orangtua aslinya. Tapi bagaimana lagi? Memori Kinan terlalu lemah mengingat wajah mereka. Kinan benar-benar kehilangan jejak orangtuanya sendiri.

"Ini, Pak, kopi kesayangan dari Kinan spesial untuk Bapak." Kinan datang menghampiri ayahnya yang membaca koran mengantarkan dua cangkir kopi hangat kesukaan mereka.

Ayahnya melipat koran itu sembari tersenyum, "Wah enaknya..."

"Anya sama Raven lagi ngapain, Nan?" tanya pria paruh baya yang sudah menginjak usia 50-an.

Kinan menyeruput kopi panasnya. "Raven ngegame, Anya tidur duluan."

"Loh kamu gak tidur juga, Nan?"

Kinan menggeleng lemah. "Enggak, Pak. Masih jam 7, Kinan belum ngantuk."

Ayahnya tertawa ringan. Seharusnya dia tak perlu menyuruh anak angkatnya yang satu ini untuk tidur lebih awal. Ia tahu betul kebiasaan Kinan dari kecil.

BintanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang