06 | Gara-gara Freya

126 39 50
                                    

Teruntuk umat manusia, semesta telah mengatur rangkaian pertemuan. Entah berakhir pada himpunan berujung luka atau sekadar menunda perpisahan.

***

Api unggun di tengah lapangan cukup menghangatkan anak-anak yang tengah duduk melingkar. Saling berbagi cerita dan menyalurkan suka cita. Meskipun tampaknya langit cukup mendung, tak membuat gerombolan anak itu serta merta membatalkan acara.

Malam ini di lapangan tak jauh dari kompleks Alea—salah satu anak sispala, sedang berjalan acara makrab. Ide yang dibawa oleh ketua sispala—Elan, rupanya disambut baik oleh para anggota. Mereka benar-benar menikmati acara kali ini.

Bukan hal yang tabu jika ekskul sispala mempunyai solidaritas lebih dari ekskul yang lain, hal ini dibuktikan oleh kebersamaan mereka yang dibangun seperti sekarang ini.

"Tang, dipanggil Derryl." Elan menepuk bahu Bintang yang berdiri memandang langit mendung, membiarkan beberapa helai rambutnya berkibar.

Bintang menoleh. "Ngapain?"

"Gua denger dari Vito, lo berantem sama Derryl. Tang, lo maupun Derryl sohib gua, gak lucu berantem gara-gara cewek." Tangan Elan memasuki saku celananya. Dia melangkah dua kali lebih dekat dari posisi sebelumnya.

"Dariawal gua ngerti kalo Derryl naksir Gladys, dari SMP, El."

Elan berdesis, "Katanya gak naksir banget sama Gladys, dipeluk Derryl dikit aja lo ngamuk."

Bintang menyipitkan matanya, sorot mata menyatakan perang ia kilatkan kepada Elan. "Siapa yang ngamuk dah? Tanya Derryl, gua gak ada sama sekali mukul dia. Gua udah ada Kinan, kok."

Elan mengangkat satu alisnya, "Serius lo?"

Bintang berjalan santai membalikkan badannya. Dirinya tersenyum santai mengangkat kaki ke depan lebih jauh dari posisi Elan, menggantungkan pertanyaan Elan.

Sementara di ujung rerumputan, Derryl dengan kemeja lurik biru putih tengah duduk termenung. Ia sama sekali tak minat bergabung dengan Vito dan Atras yang asik berhomo ria di belakangnya. Bagi Derryl, perasaan bersalahnya kepada Bintang masih menyisa. Ia tak seharusnya bertindak konyol.

"Ryl?" sapa Bintang ketika badan tegapnya menduduki rumput layu.

Derryl menggerakkan ekor matanya. Mendapati sosok Bintang yang dengan santai duduk bersebelahan.

"Kaya baru kenal gua aja lo. Lagian gua gak ada marah sama lo, Ryl."

Hembusan nafasnya terdengar berat. "Sori, buat malem itu, Tang."

Bintang tanpa ragu merangkul sahabat karibnya sejak bangku sekolah dasar ini. Bagi Bintang, selain sahabat, Derryl sudah seperti keluarganya sendiri, ia bahkan lebih mengerti ketimbang Bagas yang notabenenya sebagai kakak kandung.

"Lagian, Ryl, yang naksir Gladys emang banyak kali. Gua gak takut ada saingan sori, gua kan paling cakep, ye gak?" Tangan kekarnya menepuk-nepuk pundak Derryl. Mereka membiuskan senyuman hangat satu sama lain.

Sori, Tang. Seandainya lo tau, malem itu lebih dari mukulin lo di depan Gladys.

Sama yang seperti Atras bilang sewaktu Derryl dan Bintang bertengkar gara-gara miniatur marvel 3 tahun yang lalu. 'Bintang itu pemaaf, jadi gak usah takut bakal musuhan sama Bintang'. Tepat sekali, Bintang memang pemaaf, ibunya benar-benar menurunkan gen-nya pada Bintang.

"Cie~ homoan baru hahahaaa." Vito dan Atras mulai berulah saat keduanya melirik dua anak laki-laki menyunggingkan senyum terbaik mereka.

Elan cukup menonton dari jauh. Elan bersyukur, semasa SMP ia bertemu Bintang dan teman-temannya. Ia bisa mengerti apa arti teman yang sesungguhnya, karena terkadang pada suatu titik mereka yang disebut teman lebih memahami kita daripada keluarga sendiri.

BintanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang