24 | Di Ujung Malam

78 17 27
                                    

Terlalu pahit menelan kepedihan secara cuma-cuma. Kendati demikian, aku percaya setitik harapan bahwa kehancuran duniaku bukanlah sepenuhnya.

***

"Sana masuk," ucap Bintang mengangkat kaca helm yang ia kenakan.

Kinan hanya tersenyum kecil. Rupanya jatuh cinta tak buruk juga, pikirnya. Seakan ratusan komet memenuhi rongga perut yang sedikit kembung akibat angin malam. Tak apa, itu semua sirna ketika senyum manis Bintang kembali menyapa.

"Jangan begadang, nggak baik cewe tidur malem-malem," lanjut Bintang tak sekalipun memalingkan pandangannya terhadap Kinan yang berdiri persis di samping joki depan.

Gadis itu hanya mengeluarkan ringisan renyah. Kali ini jelas sekali Bintang telah menghapal semua kebiasaan dirinya. Ya, Kinan sering takut tidur karena mendapat mimpi buruk. Terlepas dari hal itu, ia tak yakin akan berkata seperti ini.

"Enggak, kayanya gua nggak sempet mimpi buruk ntar malem. Pikiran kosong gua keburu diisi semua tentang lo." Lidahnya membasahi bibir bawahnya sendiri. Pipinya mendadak hangat saat tawa Bintang lolos begitu saja.

"Dah sono lo pergi anjir. Bye!"

Bintang melongo kala menatap gerakan lari kecil Kinan setelah omongan manisnya tadi. Kinan benar-benar tak berbakat soal itu, ia pasti tengah merasa pipinya hampir gosong malam ini. "Jangan lupa ngigoin nama gua ntar malem! Hahaha," lantang Bintang lalu menstater vespanya sebelum menancap gas pergi dari sini.




#24 - Di Ujung Malam




Laki-laki berbalut jaket denim bloodz edisi kekecilan itu tengah memarkirkan vespa jagoan kampung satu-satunya yang ia miliki dengan sumringah yang terlukis rapi pada sudut bibirnya. Betapa indahnya gugusan bintang malam ini sama indahnya dengan bagaimana perasaan laki-laki bernama Bintang.

Pasalnya, ia sudah yakin betul kalau-kalau Kinan telah memencet lampu hijau sejak kalimat yang terlontar dari mulut cewek itu pada detik lampau. Demi apapun Bintang bahkan sempat gugup saat jantungnya mendadak jejeritan ketika bersitatap dengan Kinan. Sejarah mana yang menuliskan Bintang jatuh cinta lagi dalam tempo yang singkat hanya lewat tatapan mata.

"Cewek ajaib!" celetuk Bintang sembari merapikan rambutnya yang berantakan sesaat setelah helm itu sirna dari tempurung kepala.

Langkah kakinya menuntun perlahan ke teras rumah lalu mendudukkan sejenak pantat yang terasa menyengat. Yah, efek kebanyakan duduk sih. Duduk untuk melepas penat seraya mengendurkan tali sepatu kemudian membiarkan punggung kakinya menghirup udara segar malam ini. Ditangkapnya satu suara mengetuk indra pendengarannya.

"Ngajak Kinan kemana malam ini?"

Bintang menoleh sesaat sebelum kemudian menorehkan segerai senyum kepada Retna. "Ke bukit, nonton kembang api, makan jagung bakar, bahkan Kinan yang boncengin Bintang naik vespa, Bun," jawab Bintang antusias. Maniknya berbinar tatkala sang Bunda membiuskan nama perempuannya.

Retna menarik satu senyum simpul. Menyaksikan Bintang bak dilimpahi berjuta emas batang rupanya lebih indah daripada mengunjungi wilayah semesta. Anak tirinya tumbuh dengan sempurna, ia lebih dari cukup untuk ikut merasa berbahagia.

"Unik 'kan, Bun? Jadi penasaran, sisi tak terduga mana lagi yang bakal Bintang temuin," celotehnya membuat mulutnya melebar memperlihatkan gusi yang mengakar di sana.

"Jadi, naik vespa nggak papa, 'kan? Buktinya cewekmu masih mau tuh. Papa nggak usah repot benerin motormu nih?" Suara berat ikut menyongsongi pembicaraan anak dan ibu itu.

BintanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang