"Aku gak pernah tau ternyata jatuh cinta sama kamu lebih dari kata I Love You." —Kinan***
Hujan deras masih mendera kota sejak tiga jam yang lalu. Selimut tebal masih membungkus tubuh mungil yang menggigil enggan membuka matanya. Alih-alih terbangun demi bersiap pergi bersekolah, gadis itu justru semakin merapatkan mata. Seolah tak ada hari esok untuk memeluk bunga tidur. Waktu telah menunjukkan pukul enam pagi, agaknya mentari tetap bersembunyi.
Tirai kamar digeser untuk menutupi sepenuhnya bagian dari jendela. Meski begitu, suara rintik yang dengan konstan menampar jendela masih terdengar jelas. Dieratkannya selimut oleh Kinan membuat Anya geram menatap saudarinya itu.
"Mau berangkat nggak?" tanya anak itu sekali lagi. Ia tidak yakin teman karibnya ini menyambut hari baru dengan ceria. Mengingat semalam ia sempat terpeleset di kamar mandi. Yah, sebenarnya tanpa dijawab pun Anya tahu apa jawaban atas pertanyaan yang ia ajukan.
Lagi-lagi respons Kinan cukup meringkuk di bawah selimut tebal. Memeluk guling sangat erat.
Anya berdecak seraya berkacak pinggang. Ia berbalik badan, mematut pantulan cermin dirinya sembari menyemprotkan butir-butir parfum. "Lima menit lo nggak melek, gua cabut," ujarnya dengan ekor mata yang melirik ke arah belakang. Tak ada pergerakan sama sekali.
Bocah laki-laki menyembul dari balik tembok. "Mbak, Raven berangkat dulu. Itu Koko di teras," pamitnya disusul ringisan yang merekah seketika.
Anya menganggukkan tempurung kepala sebagai jawaban iya.
"Oh iya, Ibu udah nyusul Bapak di rumah Eyang. Kata Ibu, kalau Mbak Anya sama Mbak Kinan mau berangkat kuncinya dibawa aja," tukas Raven menaikkan kedua alisnya meminta persetujuan.
"Iya. Tumben, lo udah mau berangkat?"
Raven menimang sejenak. "Nyamperin Asyila dulu hehe." katanya merdu sambil meraih gagang pintu kamar. Sebelum kembali bertanya, "Itu kok Mbak Kinan masih tidur?" tanyanya membentuk lipatan pada kening.
Anya menengok ke arah ranjang. Kemudian, ia menggeleng pasrah. "Nyakit, biasa."
"Haha, yaudah berangkat dulu, Mbak. Assalamualaikum."
Bibir Anya melukis senyum tipis mengantar kepergian adik semata wayangnya. "Waalaikumsalam, jangan pacaran terus!"
Selanjutnya, Anya kembali menghirup napas panjang. Melangkah ke samping dimana Kinan tengah tertidur pulas. Mengusap sebelah bahu anak itu. "Sakit beneran lo?" Punggung tangannya menyentuh kening Kinan.
Lalu, kedua alisnya bertaut. "Gua izinin aja, ya?" tanyanya yang diberi anggukan lemah dari Kinan.
Sesaat Anya menjemput tasnya yang sedari tadi melambai bersedia hendak pergi ke sekolah. "Rumah nggak gua kunci dari luar, takutnya kalo lo mau beli makan susah. Di dapur lagi enggak ada lauk soalnya," tukasnya panjang memperhatikan kondisi Kinan dengan seksama.
Tak ada jawaban selain bibir gadis itu yang tampak menggigil.
"Mau titip apa ntar? Obat? Makan?"
Kinan membuka sedikit celah kelopak mata. Kemudian, menyuarakan dengan nada serak. "Nggak usah, Nyak. Sana berangkat, gua bisa beli sendiri ntar."
09. 17
Kinan terbangun dari alam mimpi, sesekali gadis itu menguap. Mengerjapkan matanya berkali-kali menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk melalui retina. Namun, kedua matanya dengan alis terangkat merasakan kantuk yang menjalar lamat-lamat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintan
Teen FictionAkasa Kinan Maranta, gadis pemilik syndrome langka dengan sejuta rahasia. Baginya tak ada yang spesial dari bumi raya. Baginya dunianya terlampau kelabu, hanya menyimpan sekotak puing-puing cerita yang siapapun enggan untuk menerka. Kendati demikia...