10 | Kak Bintang dan Dek Kinan

123 36 51
                                    

Jika aku bisa meminta kepada Tuhan, mengapa kita tak dipertemukan sejak awal?

***

"Briv, file itu nanti sore di kirim ke gua lagi aja, masih banyak revisi kata Kak Feri." Kinan menunjuk-nunjuk layar laptop milik teman sebayanya, yang tak lain bernama Brivia.

Anak dengan rambut yang menjuntai rapi itu mengangguk lemah. "Eh tapi, Nan, gua gak bisa ngirim ntar sore. Malem-malem bisanya," ujar Brivia menampilkan wajah bersalah kepada Kinan.

Kinan tampak berpikir sebentar, "Ya tapi jangan kemaleman, ntar gua ngerevisinya kapan dong?"

Sedetik kemudian Brivia mengacungkan ibu jarinya di depan mata Kinan. "Siap, mbak sekretarist ehehe."

Kinan berdecak.

"Ee tapi inget ya, Briv, lo tau kan Kak Feri galak banget..."

Matanya yang sipit itu berusaha dibulatkan. "Gua janji deh gua telat ngirim ke elo traktir mi ayam kantin dah," ucapnya meyakinkan Kinan.

Kinan tersenyum lebar-lebar, "Siap deh!" Matanya mengerling lalu beranjak pergi dari ruang kerja jurnalistik mengacuhkan Brivia yang ingin sekali menyumpal kedipan mata itu dengan sumpah serapah.

"A-anjir! Ngapain lo..." pekik Kinan.

Tepat di ambang pintu ruang jurnalistik seorang laki-laki mengenakan kaos navy bertuliskan balenciaga, disandingkan dengan jeans hitam tengah menyenderkan sisi kanan tubuhnya pada tembok. Kedua tangannya disimpan dalam saku celana, mulutnya mengulum senyum begitu gadis di depannya terperanjat.

"Siapa, Nan?" Brivia yang masih fokus di depan komputer menengokkan kepala mendengar pekikan Kinan.

Kinan bergerak kaku. "Mm... Gak papa, itu ada Pak Dayat lagi ngepel ngagetin gua," ujung telunjuk Kinan menggaruk pelan rambutnya yang tidak merasakan gatal apapun.

Laki-laki yang dianggap Pak Dayat tersebut melebarkan matanya hendak mengemukakan sanggahan yang jelas akan berujung pada sebuah kenarsisan yang tak kunjung reda.

Kening Brivia berkerut. "Yakin?"

"Iya, duluan ya, Briv." Kinan secepat kilat menggertakkan gigi-giginya pada Bintang. Ia buru-buru mendorong dada laki-laki itu, membalikkan badannya lalu digiring menuju ujung lorong.

Bintang menghentikan langkah kakinya dan tersenyum jail ke arah Kinan. "Mau ngapain ngajak aku ke sepi gini?"

Kinan melongo mendengarnya.

"Kamu ngajak aku gelap-gelapan, hm?"

Kinan melirik malas lalu sontak memukul kepala Bintang. "Sembarangan lo!"

"Ngapain kesini?" Sorot mata Kinan mengintimidasi Bintang. Untuk apa dia datang ke ruang jurnalistik, bisa dikepung massa kalau peristiwa semacam ini tertangkap kamera andalan anak jurnalistik.

"Latian futsal dong, sekalian ngapelin calon pacar." Bintang terkekeh geli menaik turunkan kedua alisnya.

Tanpa izin, tngan Bintang tiba-tiba telah mencapai tangan Kinan. Dirinya membawa Kinan melewati lorong sembari menautkan jari-jarinya. Rasanya Kinan ingin menampari pipinya sendiri kali ini.

Oh ayolah, untuk sekarang ia tidak bisa menahan rona merah di pipinya. Kinan merasa sangat menggelitik bagaikan adanya kupu-kupu yang berterbangan di perutnya. Namun, ia tak bisa berkutik selain menatap genggaman tangan itu yang semakin erat.

Bintang memang tersenyum riang, lain halnya dengan Kinan. Ia menahan mati-matian gejolak dadanya yang belakangan ini disebabkan oleh tingkah Bintang yang kerap kali menjengkelkan.



BintanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang