Sekeras apapun jalan kehidupan, di sana tetap dibuatkan titik jeda, sebagai ruang persinggahan sebelum kembali menikmati luka yang menghujani nantinya.
***
Aroma obat-obatan menyerbak pada rongga hidungnya. Wanita bersurai hitam legam tengah mengaduh kesakitan di atas ranjang rumah sakit. Kepalanya bergerak kesana kemari menahan gelisah yang terus menyerang. Satu dua untaian kata berhasil menenangkan gemetar hatinya, meski rasanya antara rela tak rela.
"Kamu harus tahan ya. Mas tau kamu kuat, An, buktiin sama dokter kalo kamu gak selemah kelihatannya." Bibir bawah laki-laki itu bergetar sambil menciumi punggung tangan sang wanita.
Wanita yang terbaring lemah hanya mengangguk pelan meskipun hatinya gundah. Ia menghayati setiap jengkal lantai menuju ruang operasi dengan ranjang dorong ini.
"Anjani, aku tau kamu kuat. Kamu wanita tangguh, aku tau kamu gak gampang nyerah," ucap tegas laki-laki di sampingnya lewat kalimat seperti takkan ada lagi kesempatan bertemu di hari nanti.
Hanya mengangguk dan tergugu lirih. "Mas, kalau anak kita lahir, diberi nama Bintang ya? Aku mau anak kita tumbuh bersinar," tukasnya lembut.
Tenggorokannya tercekat. "Iya, Sayang."
Tak ada hujan atau pun guntur, jemari wanita itu membalikkan posisi. Jemarinya meremas kuat tangan suaminya, gelisah.
"Mas, kalo nantinya aku gak bisa ngerawat bayi kita sama-sama, jangan pernah ceritain kejadian ini sama anak kita, ya. Aku gak mau dia tumbuh menjadi pribadi yang menyalahkan diri sendiri. Bisa kan, Mas?"
Prianya menggeleng lemah dengan tatapan pilu. Tidak ada kata yang mampu terucap saat ranjang dorong itu telah sampailah pada pintu gerbang ruang operasi. Ya, operasi persalinan yang cukup menanti dengan segala kemungkinan nanti.
Setetes air mengalir di sudut mata. Wanita itu menggigit bibir bawahnya khawatir. Khawatir tidak akan kembali. "Mas, siap ya kalo aku pergi?"
"Mama!" Jeritan itu terdengar dari dalam sebuah kamar gelap. Pemiliknya baru saja terlonjak, terlempar dari mimpi ke alam sadar. Peluh membasahi kening dan kedua pelipisnya. Napasnya yang tersengal mulai teratur perlahan-lahan.
Bintang merebahkan kembali kepalanya di atas bantal, sementara lengannya menutupi bagian mata. Memejam sejenak untuk sekadar mengusir bayangan hitam yang menyesaki benaknya. Tanpa mampu dicegah, setetes air mata menuruni tulang pipi. Kalau begini ceritanya, ia berharap ingin mati kehilangan oksigen saat berada di dalam perut dahulu kala.
Namun, di kemudian menit ia teringat, tentang dirinya tak boleh mengeluh untuk meninggal. Seseorang telah mengorbankan nyawa demi dirinya, dia Mama. Tidak mungkin Bintang menyia-nyiakan pemberian yang paling berharga. Tidak, jangan konyol, tolong, pikir Bintang mantap.
Layar ponsel menyapa matanya, pukul dua lebih empat puluh lima dini hari. Ia bangkit dari besarnya pegas kasur, melangkahkan kaki untuk mengambil segenggam air suci. Dengan rambut yang basah serta mata yang lumayan memerah, ia menggelar sajadah. Hanya Allah tempatnya mengadu saat ini, ia ingin bercerita banyak hal.
Pelan-pelan, barisan cerita semalam dari sang Ayah meluap satu per satu. Ia bersimpuh di hadapan Tuhan seiring berputarnya deretan kalimat semalam pada pangkal benak. Di antara lantunan ayat doa, Bintang merasa kehadiran Mama. Hadirnya Mama di alam bawah sadarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintan
Teen FictionAkasa Kinan Maranta, gadis pemilik syndrome langka dengan sejuta rahasia. Baginya tak ada yang spesial dari bumi raya. Baginya dunianya terlampau kelabu, hanya menyimpan sekotak puing-puing cerita yang siapapun enggan untuk menerka. Kendati demikia...