A

511 72 6
                                    

Hadirmu...
Koyakkan tiap asa dalam dada.

_
|[xiii]|

Pada bibir pintu kamar yang sengaja dibirkan terbuka, seorang gadis berdiri sambil menyandar dengan tangannya disilangkan di depan dada, dan kaki kanan agak ditekuk di posisi belakang yang kiri. Kepalanya menggeleng pelan sesaat, disusul decakan kemudian, lalu matanya menyipit tajam menyapu sekeliling. Terakhir ia menghela pasrah dan berdeham sesaat, sebelum tubuhnya ditegakkan dan menginjakkan kaki ke dalam kamar.

Agak berjinjit ia melangkah; menghindari benda-benda di lantai yang telah berserakan, sambil roknya diangkat memudahkan laju langkah. Lagi ia mendesah lelah saat melihat sebuah punggung lemah yang membungkuk, meringkuh di pojok ruang dekat jendela; kepala menunduk terbenam di kedua lulut yang ditekuk, pundaknya naik-turun tak beratur, rambutnya juga terlihat acak-acakan.

Ada senggukan terdengar.

Ia berjongkok di dekat punggung lemah itu. Mengelus lembut dan sedikit mendekatkan wajahnya di sana. Berbisik pelan...

"Minjoo..."

Itu Hitomi. Butuh waktu lama baginya untuk sampai di sebelah Minjoo. Tiga puluh menit lalu ia melakukan panggilan sebanyak lima kali pada sang sahabat untuk memastikan keadaannya, namun tak ada jawaban. Butuh waktu sepuluh menit bagi Hitomi untuk bisa dibukakan pintu oleh kawannya itu. Dan tadi dirinya pun harus melewati pemandangan yang berantakan untuk bisa sampai di sini.

Ya Tuhan. Untung sayang.

"Aku salah, Hiichan..." Minjoo terisak dalam tangisnya. Kepalanya terangkat kemudian, memandang sendu wajah khawatir di depannya.

Sudah hampir satu jam Minjoo mendekam sambil terisak di kamarnya. Ia menyesali keputusannya beberapa waktu lalu saat di sekolah. Meninggalkan kesempatan yang sudah lama dinantikan olehnya. Mengingkari janji dan meninggalkan seorang Jang Wonyoung di tengah lapangan seorang diri.

Bodoh, Kim Minjoo.

Makin terisak Minjoo di pelukan Hitomi tiap mengingat seperti apa sikap Jang Wonyoung padanya saat itu; jemari lentik yang melingkar di pergelangannya, mata sendu yang menatapnya dan suara halus yang menyerukan mohon padanya. Semua itu, adalah hal langka dan keajaiban bagi Minjoo, tapi ia malah bersikap tega pada adik kelasnya.

"Sudahlah, Minjoo. Keadaan kita saat itu tidak bisa dihindari." Hitomi masih sabar menenangkan.

"Tapi, Wonyoung..."

Minjoo itu hatinya sensitif, emosinya mudah bekerja; dia akan mudah terharu dengan hal-hal yang membuatnya tersentuh, dia akan mudah menyalahkan dirinya jika ia membuat kesalahan.

Kejadian di perpustakaan adalah sebuah keajaiban bagi Minjoo; ketika adik kelasnya itu meminta untuk diajarkan membuat sajak, dan mengiyakan ketika ia meminta untuk bertemu di kedai eskrim esok hari. Minjoo sangat senang. Terlebih lagi, ketika Wonyoung memintanya secara langsung untuk pulang bersama.

"Kak, nanti mau pulang bareng? Lagipula, rumah kita searah kan?"

Begitulah lontaran kata yang tak pernah terbayang sebelumnya. Satu anggukan mantap dan senyum lebar mengambang dari Minjoo menjadi jawaban dan kesepakatan mereka.

"Aku tunggu di koridor ya. Janji?"

Lagi Minjoo mengangguk sebelum akhirnya si adik kelas berlalu dari hadapannya.

Dan semua menjadi berantakan ketika teriakan Hitomi membuatnya harus meninggalkan Wonyoung. Semula Minjoo bersyukur akan teriakan itu, tapi ia tersadar setelah mendapat bahasa tubuh yang ditunjukan oleh si gadis berdarah Jepang itu. Dia teringat akan jadwal rutin yang harus dilakukannya sepulang sekolah di hari ini.

S  A J A KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang