06 - Umpan

24 4 0
                                    

Tepat pukul 10 malam, ketika Billy baru selesai mengajari adiknya membuat tugas. Adelle benar-benar sulit memahami pelajaran yang baru saja ia tanyakan. Entah karena memang tak suka, atau karena gurunya yang tidak bisa mengajar dengan baik.

Adelle tak biasanya begini. Sesulit apa pun suatu pelajaran, ia akan berusaha mengerjakannya sampai akhir. Tapi bila sudah bertanya seperti tadi, maka itu berarti ia sudah menyerah dengan usahanya.

Billy dan adiknya termasuk pelajar yang pintar di kelas. Ibunya bilang, itu karena sang ibu juga memiliki otak yang cerdas. Kalaulah kepintaran mereka bergantung pada ayahnya, maka tentu mereka tak akan pernah merasakan bagaimana rasanya jadi juara kelas.

Billy kembali menghempaskan badannya di kasur untuk kedua kalinya. Lagi-lagi, usahanya untuk mengetahui fakta dibalik kehidupan Reina gagal begitu saja. Ia ingin membuka buku harian itu lagi, tapi kepalanya sudah benar-benar berat. Ia butuh istirahat. Ya, istirahat untuk badan yang lelah karena sekolah sekaligus bekerja. Dan istirahat untuk nalar yang bekerja keras memikirkan masalah hidup, dan masalah orang lain yang entah kenapa ingin ia campuri kedepan.

"Kau butuh tidur, Billy."

Ia berdialog seorang diri. Seolah menyuruh orang lain untuk tidur, padahal yang disuruh adalah dirinya sendiri.

Billy terlelap dengan seragam sekolah yang masih ia kenakan. Tak usah tanya kenapa ia tak mandi dan makan terlebih dahulu. Ada banyak hal yang bebas dilakukan anak lelaki seusianya, asal tetap dalam batas yang telah di tentukan.

***

Esok harinya, selepas pulang sekolah, Billy mengalami hal yang tak terduga. Setelah sekian lama mencari Reina kesana kemari, takdir mempertemukan mereka kembali tanpa diduga-duga. Disaat Billy hampir ingin menyerah. Disaat Billy merasa tak ada gunanya mencampuri hidup orang lain yang tak ada hubungannya dengan dirinya. Terlebih, orang itu menghilang bagai ditelan bumi tanpa kabar apa-apa.

Sore itu, disebuah kursi taman di pinggir jalan, seorang gadis berambut hitam sebahu dengan seragam sekolah yang sama dengan dirinya duduk seorang diri tanpa siapa pun di sampingnya. Ia hanya diam, melamun menatap jalan yang mulai sepi didepannya.

Mereka memang hanya bertemu satu kali, tapi Billy ingat betul rupa gadis yang jiwanya entah kemana itu.

Untuk beberapa saat, Billy hanya terdiam di tempat. Langkahnya terhenti setelah melihat Reina kini berada tujuh meter dihadapannya. Ia bahkan merasa kalau apa yang kini dia alami mungkin hanyalah sebuah mimpi. Pasalnya, Reina benar-benar tak muncul lagi satu setengah bulan sejak kejadian itu.

Billy perlahan mendekat. Menyusuri langkah demi langkah sambil tetap menatap ke arah gadis itu. Semoga saja itu benar-benar Reina, batin Billy.

"Hei. Kamu yang waktu itu kan?"

Tanpa basa-basi, Billy yang kini berada di samping gadis itu segera bertanya kepadanya.

Si gadis hanya menoleh pelan. Wajahnya terlihat bingung. Ia mungkin telah melupakan hal yang terjadi berpuluh-puluh hari lalu.

"Siapa?"

Hanya satu kata yang terucap dari bibir Reina.

"Dasar pelupa. Aku ini yang menyelamatkanmu di sebuah lampu merah satu setengah bulan lalu. Kalau bukan karena aku, kamu pasti sudah tidak ada sekarang."

Billy merasa sedikit kesal. Sampai hari ini pun gadis itu masih berlaku tidak sopan padanya.

"Oh, iya aku ingat. Jadi, kamu mau apa?"

Ah, akhirnya dia mengerti maksud Billy. Sebenarnya, lelaki itu bukan tipikal penagih hutang budi. Hanya saja, sering kali ia bersikap jahil pada orang-orang disekitarnya.

"Aku ingin melihatmu di sekolah."

Entah apa yang mendorong Billy berkata seperti itu. Padahal, otaknya sudah direncakan untuk meminta Pizza, Burger, dan makanan lain sebagai imbalan. Tapi justru, yang terucap malah kalimat seperti itu.

Reina terdiam. Tak menjawab apa-apa, kemudian menoleh ke arah sebuah rumah sakit yang tidak jauh dari tempat mereka bicara saat ini. Setelah itu, ia kembali menatap Billy tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Billy yang tak tahu apa-apa, tentu tak mengerti dengan kode yang diberikan gadis itu. Ia hanya menatap heran dengan sebelah alis naik ke atas, pertanda bahwa saat ini ia sedang merasa bingung.

Beberapa menit setelah pandangan tanpa percakapan apa-apa itu, Reina kemudian berdiri. Ia berjalan menuju ke arah gerbang masuk pintu rumah sakit. Seperti biasa, ia tinggalkan Billy tanpa pamit.

"Hei. Mau kemana? Aku belum selesai biacara."

Lagi-lagi, harus pemuda itu yang memanggilnya agar ia tak pergi begitu saja.

Tapi Reina tetap tak menoleh ke arahnya. Ia terus berjalan ke arah rumah sakit itu. Billy merasa kesal, dia benar-benar tak sopan. Mau tak mau, Billy harus segera mengatakan hal yang selama ini tak bisa dikatakannya.

"Buku harianmu. Buku itu ada padaku sekarang."

Billy berteriak dari kejauhan. Tak disangka, langkah Reina terhenti dan akhirnya ia memutar badannya ke arah lelaki dibelakangnya. Sebuah umpan yang bagus, pikir Billy.

Demi ReinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang