11 - Bunuh Diri

27 5 0
                                    

Beberapa jam yang lalu, aku, mama, dan ayah pergi ke rumah sakit untuk mengambil hasil tes pemeriksaan kesehatan yang telah dilakukan satu minggu yang lalu. Mereka menjemputku di sekolah ditengah jam pelajaran, itu sebabnya aku masih menggunakan seragam hari ini tanpa sempat pulang dan berganti baju terlebih dahulu.

Tak seorang pun siswa di kelasku yang bertanya kenapa aku izin pulang lebih dulu. Seperti biasa, aku memilih untuk tidak berteman dengan siapa pun sejak sekolah menengah pertama. Bukan karena tak mau membuka diri, hanya saja, aku merasa berteman itu terlalu merepotkan. Tiap detik harus bersama, seolah tak bisa melakukan segalanya seorang diri. Terlebih, bagiku semua orang hanya baik di depan, tapi diam-diam membicarakan dari belakang.

Kalau kamu mengenalku, maka tak akan pernah kamu temukan aku pergi ke kantin atau ke toilet bersama seorang pun. Itu sebabnya aku dijuluki sebagai "es berjalan" oleh anak-anak di sekolahku. Biar saja, aku tak pernah peduli pada apa pun yang mereka katakan. Selama mereka tak menganggu secara fisik, maka itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku mengabaikan apa yang terjadi.

Setibanya di rumah sakit, aku memilih untuk menunggu di luar ruangan, sementara mama dan ayah masuk lalu bicara dengan dokter yang melakukan pemeriksaan kemarin. Sungguh, sebenarnya aku sudah bosan melihat tempat ini. Warna putih itu bukan melambangkan kesucian, tapi kesedihan mendalam bagi mereka yang pernah mengalami kehilangan.

Warna putih itu juga selalu mengingatkan aku pada kematian nenek dua setengah tahun yang lalu. Saat mengingat hal itu, hatiku bagai teriris berkali-kali. Sampai akhir pun aku tak bisa menemani nenek yang sudah menghabiskan sisa hidupnya untuk merawat gadis bodoh seperti aku yang lebih memilih untuk mengerjakan tugas sekolah di perpustakaan. Terkadang, menjadi siswa yang study oriented tidaklah semenyenangkan itu.

Ketika keluar dari ruang tempat mereka bicara, mama berusaha menyembunyikan air mata yang menetes dari pipinya. Tisu di tangannya terlihat basah. Aku tak pernah tahu dia menyayangiku atau tidak, yang pasti, tentu pembicaraan mereka di dalam tidak menunjukkan suatu hasil yang baik.

Ayah menyodorkan amplop coklat besar berisi hasil diagnosa dokter. Aku mengambilnya dengan ragu, lalu memegang amplop itu tanpa berani membukanya sedikit pun. Bagiku, apa yang mereka tunjukkan sudah lebih cukup untuk menjelaskan segalanya.

Ketika di parkiran saat hendak masuk ke dalam mobil, aku mendengar mama mengatakan kalimat, "Bagaimana bisa hanya tersisa enam bulan lagi?"

Tak lama, ayah mencoba menenangkan mama yang kembali menangis. Dari situlah aku tahu bahwa sisa hidupku sudah tidak lama lagi.

Sepanjang jalan, mereka diam tanpa mengucap sepatah kata pun. Hanya terdengar isak tangis mama yang begitu menyayat hati. Seolah aku akan pergi selamanya. Seolah besok pemakamanku akan digelar segera.

Aku hanya diam. Menatap ke arah jalan dari balik kaca mobil. Langit terlihat mendung, padahal saat ini sedang bulan Juni. Pepohonan dan gedung yang kami lewati seolah tak pernah habis. Ada lagi, ada lagi, dan lagi. Pikiranku kosong saat itu. Aku tak lagi peduli apakah mama memang menangis sungguhan, atau hanya mencari perhatian ayah seperti biasa. Seperti ketika ia mengajakku untuk pindah ke rumah mereka berdua, lalu menelantarkan aku begitu saja tanpa kasih sayang seperti yang wanita itu berikan pada anaknya, Emily.

Sesampainya di depan rumah, aku biarkan mereka masuk ke dalam. Sementara diriku kabur dan berjalan entah kemana. Seingatku, kala itu hujan deras hingga seluruh bajuku tersiram air langit itu. Bahkan, amplop hasil diagnosa yang aku pegang pun tak kalah basah terkena tempias hujan.

Aku hanya berjalan dan terus berjalan tanpa tahu akan kemana. Orang-orang memandangku dengan aneh, tapi aku tak peduli. Hal seperti ini sudah biasa terjadi, dan tugasku hanyalah mengabaikan semuanya seperti biasa.

Pertokoan terlewati, rumah sakit tempat aku mengambil hasil pemeriksaan tadi pun juga tak luput dari langkahku. Aku terus berjalan sampai tak sadar kalau kedua kakiku sudah lecet dan nyaris berdarah.

Lamunan panjangku masih belum berhenti, sampai suatu ketika tiba-tiba ada yang menarik tanganku dari belakang. Kami terjatuh di trotoar disusul dengan suara klakson dan makian dari supir truk yang baru saja melintas di depanku.

Aku tak sempat melihat siapa yang telah menarikku. Aku hanya ingat bahwa tubuhnya terhempas karena menahanku agar tak sampai terjatuh di trotoar, walau pada akhirnya siku dan lututku tetap lecet dan berdarah. Tapi anehnya, tak ada rasa sakit sedikit pun. Mungkin karena aku tahu ada sesuatu yang lebih parah dari hal ini. Mungkin juga karena semua sistem pengatur rasa sakit ditubuhku telah hilang entah kemana.

Tak lama, orang-orang mulai mengelilingi kami. Membuat sebuah lingkaran seolah kami adalah sebuah pertunjukan yang layak ditonton. Beberapa diantaranya memakai payung, membuatku tak bisa melihat ke arah langit dengan jelas. Beberapa yang lain rela pakaiannya basah terkena air hujan. Iya, merekalah penonton dadakan yang kebetulan sedang berteduh di sekitar lokasi kejadian.

Kamu tahu apa yang terjadi?
Aku hampir saja membunuh diriku sendiri.

Demi ReinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang