05 - Masa Lalu

49 5 0
                                    

Sharon menghela nafas panjang. Raut wajahnya terlihat nampak kelelahan. Kakinya lecet dan memerah karena salah menggunakan sepatu. Di pedesaan terpencil seperti ini, dia benar-benar telah membuat keputusan yang buruk dengan memakai high heels ke pemakaman.

"Sini, biar aku yang menggendong anak kita."

Billy mengambil alih bayi kecil di gendongan istrinya itu. Kasihan, sejak pagi perempuan itu terus-menerus jalan kaki. Padahal, kehidupan yang nyaman di kota tak pernah membuatnya kesulitan seperti ini sekali pun. Untungnya, bayi mereka tak serewel itu untuk menangis ditengah tempat seperti ini.

"Bisa kita istirahat dulu?"

Sharon melepaskan high heels setinggi lima belas sentimeter miliknya, lalu menjinjingnya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya memegang tas kecil berisi perlengkapan bayi yang mereka bawa. Begitulah, menjadi seorang istri tak bisa membuat Sharon bebas berpergian tanpa membawa apa pun, bahkan meski hanya sekadar sebuah botol susu dan popok bayi untuk berjaga-jaga.

Billy tahu, Sharon ingin mengeluhkan banyak hal andai bisa. Kelelahan yang ia rasa karena harus berjalan kaki dengan heels, serangga-serangga aneh di pedesaan, lokasi yang terpencil, dan segala hal yang tidak biasa ia lakukan. Tapi demi menjaga perasaan Billy, perempuan itu hanya bisa diam dan tersenyum. Baginya, lebih mudah mengatakan 'tidak apa-apa' daripada harus menjelaskan segalanya.

Mereka berdua kini duduk di sebuah pondok kayu kecil tua di dekat pemukiman penduduk daerah ini. Entah apa gunanya tempat yang baru saja mereka singgahi. Yang pasti, mereka hanya mencari sebuah tempat untuk beristirahat sejenak sebelum malam semakin larut. Sebelum nyamuk di tempat ini mulai menggigiti bayi kecil mereka yang tak bisa apa-apa.

Jangan tanya mengapa Billy tak membawa mobil atau kendaraan lain menuju pemakaman. Jalur ini terlalu berkelok dan kecil. Untuk membawa kendaraan roda dua pun, ia merasa khawatir. Takut kalau-kalau anak dan istrinya justru terjatuh karena struktur jalan yang tidak rata. Dan sialnya, dia lupa mengingatkan istrinya untuk tidak memakai sepatu atau baju-baju moderen lain seperti yang bisa perempuan itu pakai sehari-hari.

"Minumlah dulu. Kamu pasti lelah. Maaf ya, sudah membawamu ke tempat sejauh ini."

Billy mengeluarkan sebuah botol minum berisi air mineral dari dalam tas punggung yang ia pakai, kemudian memberikannya pada perempuan disampinganya lalu kembali fokus ke bayi kecil yang sedang terlelap dipelukannya. Lucu sekali, pipi, mata, dan hidung bayi itu persis seperti ibunya. Bila menatap anak semata wayangnya itu, semua lelah seolah sirna begitu saja.

Sharon tersenyum. Pipinya yang bulat membuat mata coklat itu menjadi sipit seperti bulan sabit. Moon eyes, biasanya disebut orang-orang. Ia benar-benar manis meski keringat bercucuran di pelipisnya.

Ini yang membuat Billy tak menyesal menikahi Sharon, bahkan meski sebelumnya Billy sempat tak mau mengenal wanita mana pun setelah Reina meninggal. Iya, Reina terlalu banyak memberi kenangan yang tak terlupakan untuk Billy, bahkan meski gadis itu sudah meninggal sembilan tahun yang lalu. Begitu lama Billy menutup hatinya rapat-rapat, sampai akhirnya ia dipertemukan dengan Sharon yang sekarang menjadi istrinya. Tak bisa dijelaskan betapa luka dan kesedihan mendalam membuat Billy sempat berada di titik terendah dalam hidupnya.

Tapi, tak sekali pun Billy tega membanding-bandingkan Sharon dengan teman sekolah menengah atasnya yang sudah meninggal itu. Reina adalah Reina. Sharon adalah Sharon. Mereka berdua berbeda dari segi apa pun. Yang sama hanyalah cara mereka tersenyum yang mirip. Mata bulan itu sangat terlihat indah, membuat orang yang memandang mereka tak akan merasa bosan meski melihat wajah mereka berkali-kali.

Salah satu hal yang membuat Billy kagum pada Sharon, adalah penerimaannya terhadap kondisi Billy yang tidak se-kaya dirinya. Sharon hidup dalam keluarga kaya raya dengan segala fasilitas mewah yang diberikan oleh orang tuanya sejak kecil. Walau tujuh turunan pun, rasanya seluruh harta itu tidak akan habis meski diambil terus menerus. Maklum, Sharon adalah anak salah satu pengusaha terkaya dan tersukses di Negeri ini. Krisis yang pernah terjadi pun tak berdampak apa-apa bagi orang sepertinya.

Tapi siapa sangka, perempuan seperti itu justru jatuh hati pada Billy. Dia rela meninggalkan semua fasilitas yang diberikan oleh orang tuanya. Baginya, semua itu hanyalah hasil kerja keras papa dan mamanya. Tak satu lembar uang pun ia hasilkan dari keringatnya sendiri. Itu sebabnya, ketika menikah Sharon tak sekali pun mengeluhkan keadaan yang ada. Seringkali ia justru menolak bantuan yang diberikan papa dan mamanya. Harus jadi mandiri, begitu katanya.

Meski ia tak bisa memasak, tapi ia bersedia belajar. Dicarinya resep masakan di internet. Bahkan meski harus mendatangi rumah ibu Billy untuk menanyakan apa saja bahan makanan untuk sebuah menu, maka akan ia lakukan semua itu. Seringkali, karena tak biasa mencuci baju sendiri, jari-jari dan kulit tangan halusnya pernah mengelupas karena tak bisa terkena deterjen sembarangan.

Terkadang Billy merasa bersalah, membiarkan seorang perempuan yang dibesarkan bak putri raja untuk kemudian mengawali hidup dari nol bersama dirinya. Ingin, ingin sekali rasanya mencukupi semua kebutuhan istrinya itu seperti ketika ia belum menikah. Tapi Billy  tak mau mendidik istrinya menjadi manja dengan  segala kemudahan yang diberikan. Untungnya, Sharon adalah tipe penyabar yang mau memahami keadaan Billy.

***

Bulan bersinar terang malam ini. Hujan yang sudah berhenti membuat langit menjadi bersih tanpa awan yang menutupi. Suara jangkrik, cahaya bulan, dan payung basah yang dikeringkan menjadi saksi percakapan mereka berdua. Suasana yang romantis, tapi tak terasa begitu bagi Sharon. Ya, karena mereka sedang membicarakan perempuan lain. Membicarakan masa lalu yang tak pernah bisa dilupakan Billy.

"Jadi, setelah hari itu kalian tak pernah bertemu lagi?"
Tanya Sharon setelah meneguk setengah isi botol air mineral yang diberikan Billy padanya.

"Iya. Cukup lama kami tak pernah bertemu lagi. Aku bahkan mengira bahwa seragam yang dia pakai hari itu, mungkin hanya mirip saja dengan seragam sekolah kami."
Jawab Billy sambil tersenyum tipis.

"Lalu, apakah kamu menyerah mencari Reina?"

"Tentu tidak. Saat itu, sungguh aku sama sekali tidak menyukainya. Tapi seperti yang aku ceritakan tadi. Sesuatu seolah menyuruhku untuk menyelamatkan gadis itu."

"Jadi Reina enak ya. Hehehe."

Dengan tawa yang tertahan, entah kenapa Sharon berkata seperti ini. Sementara Billy hanya bisa menatap heran. Gawat, sepertinya istrinya mulai cemburu lagi.

"Kamu tahu Billy? Aku selalu berharap ada orang yang memikirkan dan mencemaskan aku seperti itu. Sejak kecil, papa dan mama hanya memberiku uang, tanpa pernah mengerti bahwa yang aku butuh hanyalah perhatian dan kasih sayang mereka.

Andai kita berjumpa lebih cepat, aku harap diriku yang jadi pengisi hatimu kala itu. Menjadi perempuan pertama yang dekat denganmu. Walau kurasa ini tidak adil karena dulu aku juga sempat dekat dengan beberapa orang."

Billy kembali menatap ke arah wajah istrinya yang disinari cahaya bulan. Entah kapan perempuan itu akan sadar bahwa dirinya juga berharga dan dicintai.

"Pernah dengar? Ada seorang penulis yang mengatakan hal seperti ini,

'Masa lalumu adalah milikmu. Masa laluku pun adalah milikku. Tapi masa depan adalah milik kita berdua. Tak penting apa yang kita alami dulu. Yang terpenting, akan kemana kita, dan dengan siapa kita menggapai tujuan itu kedepan.'

Aku lupa nama penulisnya. Tapi kira-kira begitu katanya." Jelas Billy sambil menatap istrinya.

Sharon tersenyum, lalu menepuk pundak Billy sambil berusaha menyembunyikan rona merah dipipinya dengan tangan.

"Gombalan macam apa lagi ini. Hahaha. Dasar."

"Itu bukan gombalan. Itu sungguhan. Serius."

"Hahaha. Kamu benar-benar pandai membuat aku jadi salah tingkah. Ayo ceritakan lagi kisah tentang Reina. Aku akan menanyakan hal yang lebih banyak lagi dari ini."

"Baik. Setelah aku mengajari Adelle membuat tugasnya...."
.
.
.
.
Bersambung lagi hehe.
Terus kasih semangat dan do'a ya ke author.
Soalnya tugas wattpad ini bakal dikumpul Selasa depan 🤣

Dasar deadliners parah 🤣

Semangat. Masih ada 25 Part lagi 😂😂😂  #curhat

Demi ReinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang